PANTAUBALI.COM, TABANAN – Di balik hamparan sawah dan perbukitan Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali, tepatnya di Banjar Tingkih Kerep, Desa Tengkudak, sebuah inisiatif konservasi Burung Jalak Bali dari akar budaya dan kepedulian lingkungan.
Masyarakat setempat membentuk Kampung Jalak Bali, kawasan konservasi yang kini menjadi rumah baru bagi puluhan ekor Burung Jalak Bali yang merupakan satwa endemik langka dan dilindungi.
Menariknya, meski tergolong burung liar, jalak Bali yang dilepasliarkan di kampung ini jinak dan akrab dengan manusia. Mereka bahkan mendekat saat melihat penduduk atau pengunjung datang membawa jangkrik maupun buah-buahan seperti pepaya.
Kampung Jalak Bali ini dikelola oleh Yayasan Friends of the National Parks Foundation (FNPF) bersama desa adat sekaligus masyarakat setempat yang juga aktif merawat satwa dilindungi itu.
Pengelola Kampung Jalak Bali sekaligus staf dari Yayasan FNPF, I Wayan Yudi Artana, menceritakan bahwa Kampung Jalak Bali di Desa Adat Tingkih Kerep ini baru terbentuk setahun lalu.
Berawal dari banyaknya ditemui berbagai jenis burung yang berhabitat di Banjar Tingkih Kerep, namun kemudian banyak masyarakat dari luar yang datang untuk memburu.
Dari sanalah, kelompok pelestari burung bersama aparat desa setempat membuat aturan desa adat atau awig-awig untuk melindungi satwa burung serta melepaskan burung setiap 17 Agustus. Selain burung, ada juga berbagai jenis ikan yang dilestarikan di saluran irigasi desa setempat.
“Dari kegiatan pelepasan itulah, Yayasan FNPF menawarkan pengembangan dan pelestarian Jalak Bali di kawasan Banjar Tingkih Kerep,” ujar Yudi Artana saat ditemui Sabtu (21/6/2025).
Setelah melakukan observasi selama setahun terhadap habitat pohon dan lingkungan sekitar, akhirnya disepakati untuk melepasliarkan Jalak Bali ke alam bebas.
Pelepasan dilakukan secara bertahap. Sebelum dilepas, burung-burung dikarantina selama satu bulan. Tahap pertama dilepas sebanyak 10 pasang Jalak Bali. Kemudian, tahap kedua dilakukan pada bulan Juli 2024 dengan jumlah 18 ekor burung.
“Setelah pelepasan kedua itu, kini populasi telah berkembang menjadi total 60 ekor burung Jalak Bali yang tersebar di Desa Tengkudak dan sudah ada 24 anakan yang berhasil ditetaskan,” jelasnya.
Banjar Tingkih Kerep menjadi pusat utama konservasi dengan 13 ekor indukan aktif, di mana enam di antaranya telah menunjukkan produktivitas. Pemerintah desa setempat pun telah berkoordinasi dengan desa-desa sekitar untuk ikut menjaga habitat Jalak Bali.
Yudi Artana menambahkan, ,enjaga kelestarian burung-burung ini bukanlah pekerjaan mudah. Meski masyarakat aktif memberi makan setiap pagi, terutama dengan buah lokal dan hewan kecil seperti jangkrik dan laba-laba, ancaman predator tetap ada.
Burung bubut dan elang tikus menjadi pemangsa utama anakan Jalak Bali. Namun untuk mengantisipasi, pihaknya membantu indukan Jalak Bali dengan membuat sarang buatan agar predator tidak bisa menjangkau anakan burung yang baru menetas.
“Burung Jalak biasanya membuat sarang dari ranting pohon atau bekas-bekas kayu stik dupa. Setelah dua kali bertelur, kami ganti sarangnya agar tetap bersih. Habitat jelajah mereka hanya sekitar 200 meter, jadi mudah dipantau,” terang Yudi Artana.
Masyarakat setempat sangat mendukung program ini, apalagi kampung tersebut mulai diarahkan menjadi destinasi ekowisata.
Sementara itu, Kelian Dinas Banjar Tingkih Kerep, Nengah Mahardika, menegaskan bahwa partisipasi warga sangat tinggi karena mereka sadar akan potensi besar yang dimiliki kampungnya.
“Respons masyarakat sangat positif. Mereka ikut menjaga, memberi makan, dan mendukung penuh rencana desa adat yang kini sedang kami arahkan menjadi desa wisata berbasis konservasi,” ujar Mahardika.
Menurutnya, keberadaan Jalak Bali bisa membuka peluang ekonomi baru di desa, terutama dari sektor pariwisata. Karena itu, pihaknya bersama desa adat dan pengelola kampung terus berupaya meningkatkan fasilitas penunjang agar kunjungan wisatawan semakin nyaman dan meningkat.
Kunjungan wisatawan, baik lokal maupun mancanegara, mulai meningkat sejak awal 2025. Wisatawan terbanyak berasal dari Eropa, disusul pengunjung lokal dari Denpasar, Nusa Dua, dan Canggu. Sebagian besar datang karena kecintaan terhadap alam dan burung, serta untuk kebutuhan dokumentasi dan fotografi.
Meski belum menarik tiket masuk, pengunjung diminta berdonasi sukarela. Dana inilah yang digunakan untuk membeli pakan, yang biayanya bisa mencapai Rp1–2 juta per bulan. Sayangnya, fasilitas wisata seperti toilet, ruang informasi, lahan parkir, dan pemandu wisata masih minim.
Untuk meningkatkan pelayanan wisata dan konservasi, pengelola kampung kini berkoordinasi dengan pemerintah desa dinas. Harapannya, Kampung Jalak Bali tak hanya menjadi tempat berkembang biak burung langka, tetapi juga simbol kolaborasi antara adat, alam, dan pariwisata berkelanjutan.
“Kedepan kami terus berkoordinasi dan berkolaborasi dengan pemerintah desa untuk meningkatkan fasilitas penunjang Kampung Jalak Bali ini,” pungkasnya. (ana)