Masjid Al-Hidayah, Bukti Kuatnya Toleransi Umat Islam dan Hindu di Desa Candikuning

Mesjid Al-Hidayah, Tabanan, Bali.
Mesjid Al-Hidayah, Tabanan, Bali.

PANTAUBALI.COM, TABANAN – Berdiri megah di pinggir Jalan Danau Beratan, Desa Candikuning, Kabupaten Tabanan, Masjid Besar Al-Hidayah menjadi simbol kuatnya toleransi antara umat Islam dan Hindu di Pulau Dewata, Bali.

Masjid yang telah berdiri sejak 1927 ini memiliki keunikan tersendiri. Bagaimana tidak, dinding bangunan masjid ini dihiasi dengan ornamen khas budaya Bali yang kental dengan tradisi umat Hindu.

Ketua Pengurus Masjid Besar Al-Hidayah Candikuning, Burhanuddin mengungkapkan, keberadaan ornamen Hindu pada masjid ini mencerminkan kuatnya kerukunan umat beragama di Desa Candikuning. “Pekerja yang dulu membangun masjid ini juga merupakan orang Bali (Hindu),” ujarnya.

Masjid ini didirikan sekitar tahun 1927 dan telah mengalami empat kali renovasi, dengan renovasi terakhir dilakukan pada tahun 2009.

Pada 2023, diadakan acara selamatan untuk memperingati 95 tahun berdirinya masjid, yang juga dihadiri oleh pejabat kabupaten dan provinsi. Secara administratif, masjid ini berstatus sebagai masjid besar tingkat kecamatan dan merupakan masjid tertua di Kabupaten Tabanan.

Baca Juga:  Semarak Festival Imlek dan Cap Go Meh di Tabanan

Kuatnya toleransi antarumat beragama di Desa Candikuning juga tercermin dalam tradisi pembacaan Maulid Berjanji saat peringatan Maulid Nabi. Pembacaan ini menggunakan nada khas jangger, yang merupakan warisan leluhur.

“Nada bacaannya sangat mirip dengan cara orang Bali membaca kidung, tetapi huruf bacaannya menggunakan aksara Arab. Ini karena leluhur kita dahulu, baik dari aksen bicara maupun budayanya, sangat menyatu,” jelas Burhanuddin.

Bangunan masjid yang berdekatan dengan Pura Ulun Danu serta letak kuburan umat Muslim dan Hindu yang saling berdekatan juga menjadi bukti nyata toleransi yang telah terjalin lama di desa ini. Menurut Burhanuddin, keharmonisan antarumat beragama di Desa Candikuning tidak lepas dari keberadaan Kampung Muslim di sana. Kampung ini terletak di dekat kawasan wisata Bedugul dan Danau Beratan, yang sejak awal didirikan oleh umat Hindu dan Muslim secara bersama-sama.

“Kondisi toleransi yang ada sampai sekarang memang benar-benar berdasarkan warisan orang tua kita. Semangat perintisan kampung ini adalah semangat menyama braya (persaudaraan). Dalam sejarah terbentuknya kampung ini, ada ikatan persaudaraan yang sangat kuat, sehingga toleransi tetap terjaga hingga saat ini. Meskipun kami hidup berdampingan dan berdekatan selama ratusan tahun, tidak pernah terjadi konflik besar yang berkaitan dengan SARA,” katanya.

Baca Juga:  Tabanan Pertahankan Predikat Tata Kelola Pemerintahan Terbaik, Skor MCP Tertinggi Nasional

Burhanuddin juga menuturkan dahulu kuburan Muslim dan Hindu berada di satu lokasi. Namun, seiring bertambahnya populasi, akhirnya disepakati pemekaran wilayah Candikuning I dan Candikuning II. Meski demikian, bukti persaudaraan tetap terlihat dari letak masjid, pura, dan kuburan yang masih berdekatan.

Toleransi di desa ini juga terjaga melalui berbagai kegiatan keagamaan dan budaya. Salah satunya adalah tradisi ngejot, yaitu saling berbagi makanan saat hari raya. Selain itu, terdapat pula kolaborasi dalam menjaga keamanan, terutama saat perayaan hari besar keagamaan masing-masing umat.

Baca Juga:  Genta Pura Prajapati Desa Tangguntiti Dicuri, Pelaku Panjat Penyengker dan Congkel Peti Penyimpanan

“Kami memiliki sistem adat yang telah disepakati dan diakui eksistensinya hingga sekarang, yang mengatur kegiatan berhubungan dengan kearifan lokal. Kami sangat menjaga toleransi tersebut,” ujarnya.

Burhanuddin berharap keberadaan umat Islam di Desa Candikuning, yang hidup di tengah mayoritas umat Hindu, dapat terus berjalan harmonis.

“Potensi kerawanan intoleransi pasti ada, tetapi kami berharap generasi selanjutnya memahami sejarah terbentuknya kampung ini dengan semangat persaudaraan,” pungkasnya. (ana)