Tari Janger Klasik Perlu Di Pertahankan

m

Pantaubali.com – Denpasar – Tahun 1950-an sudah ada janger ini dan turun-temurun, sekarang sudah generasi yang ke 21,” ujar kelian banjar dari Desa Singapadu ini, I Made Wijana dengan gurat wajah serius. Janger klasik seperti ini perlu dipertahankan.

Yang sudah ada memanglah patut dilestarikan. Itulah yang menjadi tolak ukur Sanggar Lango Murti untuk senantiasa bergelut dalam mencari generasi penerus Seni Kerakyatan Janger yang sudah ada sejak tahun 1950.

“Sanggar ini di bawah naungan STT (Sekaa Teruna-Teruni-red) di desa kami, jadi sudah barang tentu semua teruna-teruni tergabung dalam sanggar ini,” jelas Wijana. Sebagai kelian, Wijana pun berusaha intens mengawasi anak muda yang menari dan menabuh pada gelar Bali Mandara Mahalango 5.

Setiap latihan Wijana mengawasi dan memberikan masukan-masukan yang dirasa penting. Sudah tampil untuk kedua kalinya, Wijana merasa performa janger kali ini kuranglah maksimal. “Pertama kali kami tampil itu tahun 2016 dan saat itu lebih siap sehingga kami buatkan lakon di dalam janger.

Baca Juga:  Debat Pilgub Kedua, De Gadjah Sebut Hubungan Pusat-Daerah yang Tidak Harmonis Menyulitkan Pembangunan 

Sedangkan karena banyaknya kesibukan dari para penampil, maka kami hanya menampilkan janger yang sudah kami tarikan turun-temurun,” ungkap Wijana.

Meski dirasa biasa saja, namun bagi salah satu penabuh Sanggar Lango Murti, I Made Dhima Fransima menuturkan dengan garapan janger tanpa lakon, suasana kekentalan klasik sebuah kesenian janger sangatlah terasa. “Memang dulu pakai lakon, sekarang tidak. Tapi dengan yang seperti ini lebih terasa natural dan klasiknya,” jelas Dhima.

Berlangsung di Kalangan Ayodya, Taman Budaya, Denpasar kesenian janger khas Singapadu, Gianyar ini pun terasa klasik dan apik.

Pengamat seni yang juga curator Bali Mandara Mahalango V, I Made Bandem juga menangkap kesan klasik dari penampilan Sanggar Lango Murti.  Justru Bandem menangkap itu kelebihan dan kekuatan dari janger yang ditampilkan Sanggar Lango Murti.

Baca Juga:  Pria yang Ditemukan Tewas di Taman Pancing Adalah Warga Denpasar yang Bekerja Sebagai Juru Parkir

“Sesungguhnya ini janger yang lebih klasik daripada janger-janger yang lain. Karena janger Singapadu ini kombinasi antara janger Peliatan, Singapadu, dan Kedaton yang menjadi puncak-puncaknya janger di tahun 40-an, 48, 47.

Janger ini sedang menjadi model di Bali sesungguhnya karena kombinasi itu,” apresiasi Bandem saat ditemui usai pementasan, Selasa malam (21/8).

Menurut Bandem janger yang ditampilkan ini memang telah menjadi seni klasik saat ini. Bahkan lebih klasik dibandingkan dengan janger Menyali atau janger-janger yang lain. Itu karena janger ini jauh lebih awal dibandingkan janger-janger yang pernah ada.

Menurut Bandem, penataan tarinya ditata dengan  bagus. Begitu juga penataan kecaknya. Selain itu penampilannya terasa komplit.

Baca Juga:  Jasad Mr X yang Ditemukan Bersimbah Darah di Taman Pancing Diduga Korban Pembunuhan

”Ini sesunggunya model janger yang perlu kita pertahankan. Walaupun saya tahu ada beberapa gending-gending yang sudah tidak dilagukan lagi,” tegas Bandem.

Bagi Bandem boleh saja ada janger-janger model lain tetapi janger yang asli seperti yang ditampilkan Sanggar Lango Murti ada.
Catatan lainnya, menurut Bandem, apa yang ditampilkan ini tidak kuno asal dikemas seperti sekarang. Misalkan koreografinya barang kali dapat improvisasi.

“Tadi itu kan ada gending Pangkur Jawa namanya. Itu seharusnya ditonjolkan lebih banyak. Pangkur Jawa, yang nyanyi solo itu menarik. Janger Singapadu dulu banyak sekali nyanyian solo-solo seperti itu. Mengadu suara baru mejangerannya. Itu yang saya perhatikan kurang ada. Tadi Cuma satu sayang juga, ya tapi ya tetep masih ada,” puji Bandem.