
PANTAU BALI.COM, DENPASAR – Sanggar Seni Werdhi Budaya dari Desa Adat Kelan, Kuta, Badung berhasil memukau ratusan penonton dalam ajang lomba Taman Penasar Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 yang berlangsung di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Denpasar, Jumat (27/6/2025).
Dengan mengusung karya berjudul Amrih Sukaning Rat, pertunjukan ini tak hanya menawarkan keindahan artistik, tetapi juga menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya menjaga harmoni di jagat raya.
Pembina tembang, I Nyoman Wija Widastra, menjelaskan, tema Amrih Sukaning Rat bermakna upaya untuk menciptakan ketentraman dunia. Tema ini dipilih sejalan dengan spirit besar PKB tahun ini, Jagat Kerthi, yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam semesta.
“Amrih artinya mengusahakan, sukaning rat itu ketentraman jagat. Melalui garapan ini, kami ingin menyuarakan bahwa harmoni itu harus diupayakan bersama, bukan hanya menjadi wacana,” ungkapnya.
Wija juga menceritakan proses persiapan panjang yang melibatkan anak-anak muda berusia 17 hingga 25 tahun. Diakui, membina generasi remaja di tengah kesibukan sekolah dan pekerjaan bukan perkara mudah.
Namun, semangat luar biasa para peserta yang berkumpul dari berbagai sanggar membuat latihan selama tiga bulan terakhir berjalan penuh antusias.
“Biasanya kalau remaja itu agak sulit diajak belajar sastra dan seni Bali. Tapi karena ada PKB, kami kumpulkan yang terbaik dari beberapa tempat. Walau belum saling kenal, mereka cepat bersatu karena satu tujuan,” katanya.
Pertunjukan Amrih Sukaning Rat membingkai kisah keseharian warga desa yang mulai terimbas geliat pariwisata. Di tengah hiruk pikuk mencari nafkah, mereka tetap menyempatkan diri ngayah dan berkesenian. Ketegangan muncul saat seorang warga, I Wayan, merasa terganggu dengan suara gamelan dan pesantian.
Ia pun meluapkan emosinya dengan nada keras. Situasi kemudian diredakan oleh Jro Kelian dan para anggota seka santhi melalui tembang-tembang Bali yang sarat pesan moral.
Alunan Kekawin, Palawakia, Sloka, hingga Sekar Alit menjadi medium untuk menanamkan nilai-nilai kebijaksanaan dan spiritualitas. Dialog yang awalnya penuh emosi itu perlahan berubah menjadi ruang perenungan. I Wayan akhirnya menyadari kekeliruannya, tersentuh oleh makna sastra Bali yang luhur, dan mulai mengagumi warisan budaya tersebut.
“Akhirnya dia menyadari, bahwa ajaran sastra Bali itu tidak hanya indah didengar, tapi juga menuntun ke arah kehidupan yang lebih baik. Itulah harmoni semesta yang ingin kami sampaikan,” jelas Wija.
Lebih dari sekadar lomba, garapan ini menjadi sarana pendidikan budaya bagi generasi muda. Selain mempertahankan tradisi, anak-anak muda diajak memahami filosofi luhur yang terkandung dalam sastra Bali.
“Kami tidak semata mengejar juara. Yang terpenting, anak-anak muda ini bisa belajar, mengenal, dan mencintai budaya sendiri, supaya kelak mereka bisa meneruskannya,” pungkas Wija. (jas)