PANTAUBALI.COM, TABANAN – Subak Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, sejak tahun 2012 telah mendapat predikat sebagai warisan budaya dunia tak benda (WBD) oleh UNESCO.
Predikat tersebut diberikan karena Subak Jatiluwih memiliki sistem irigasi tradisional Bali yang dipertahankan secara turun-temurun serta nilai budaya yang masih kental.
Namun, dilansir dari Antara, predikat tersebut terancam akan dicabut. Sebab, beberapa delegasi World Water Forum (WWF) ke-10 Bali, yang berkunjung ke Subak Jatiluwih menyoroti banyaknya restoran dan kafe yang dibangun di tengah sawah.
Perwakilan delegasi sangat menyayangkan kondisi tersebut. Terlebih lagi, kehadiran mereka di kawasan sawah bertingkat seluas 303 hektare tersebut sebagai lokasi side event WWF mengangkat nama subak.
Terkait hal tersebut, Pekaseh Subak Jatiluwih I Wayan Mustra tidak menampik bahwasanya para delegasi WWF yang sebelumnya berkunjung ke Subak Jatiluwih menyoroti banyaknya pembangunan di tengah sawah Jatiluwih.
Dikatakannya, dari total luas lahan pertanian di Subak Jatiluwih yakni mencapai 303 hektare, hanya sekitar 227,41 hektare yang masih aktif untuk ditamami padi.
Sedangkan sisanya seluas dua hektar sengaja dikeringkan untuk alih fungsi lahan serta berkurang karena faktor bencana alam seperti longsor.
Namun, pihaknya di Subak Jatiluwih sudah komitmen untuk menjaga sawah dan melestarikan budaya.
“Kami selalu mengadakan rapat rutin tiap bulan untuk menyerap aspirasi dari masyarakat. Kita sudah sepakat sesuai awig-awig bercocok tanam sesuai yang sudah dilakukan turun-temurun,” ujar Mustra, Jumat (24/5/2024).
Menurutnya, kendala yang dihadapi pihaknya saat ini adalah adanya bangunan baru yang dimiliki oleh masyarakat di luar Desa Jatiluwih yang sudah mengantongi ijin pusat dan sudah terintegrasi secara elektornik (OSS).
Bahkan, dikatakan Mustra, saat awal dilakukannya pembangunan sudah sempat dilaporkan ke Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan.
Namun, Pemerintah daerah sendiri tidak berani untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebab sudah mengantongi izin.
“Hal seperti inilah yang membuat kami di subak Jatiluwih menjadi khawatir. Kami yang di bawah sudah sepakat untuk mempertahankan karena dampak dari pariwisata yang saat ini pastinya berdampak ke subak,” katanya.
Mustra berharap, pemerintah bisa memberikan solusi dari permasalahan ini. Terlebih lagi, pembanguann dilakukan oleh masyarakat diluar desa Jatiluwih, sehingga ditakutkan juga hal ini akan menimbulkan permasalahan baru di masyarakat.
“Memang di awig-awig telah diatur untuk tidak alih fungsi. Namun, kami secara hukum tidak kuat sehingga kami harap pemda agar membuat regulasi sebagai payung hukum atas permasalahan ini,” ungkapnya.
Ia menyebut, pemerintah sebelumnya sudah menetapkan peraturan daerah (Perda) terkait sawah abadi.
Dalam perda tersebut, diatur bahwa pembangunan tidak dilakukan di lahan sawah yang dilindungi (LSD). Begitu juga di subak Jatiluwih juga telah membuat aturan terkait pembangunan.
“Ada awig-awig, tetapi masih sebatas umum. Sanksinya pun masih berupa upacara, tidak ada sanksi sosial,” ujarnya.
Sementara, Manager DTW Jatiluwih I Ketut Purna menambahkan, peringatan terhadap Subak Jatiluwih patut menjadi pelajaran untuk kita semua yang menyoroti mulai adanya pembangunan di DTW Jatiluwih.
Jangan sampai gara-gara oknum satu dua orang yang melakukan pembangunan, justru membawa dampak dengan dicabutnya status warisan budaya dunia oleh UNESCO.
“Maka habislah kami disini. Tidak ada tamu yang akan berkunjung ke Jatiluiwih. Masyarakat harus mengerti tentang hal ini. Unesco hanya memberikan pengakuan, tetapi dampaknya luar biasanya dengan datangnya tamu wisatawan ke DTW Jatiluwih,” ungkapnya.
Terkait adanya bangunan liar ini, pihaknya sejatinya berencana berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah dalam hal ini Bupati Tabanan. Untuk bagaimana bersikap ke depannya.
“Pertemuan dengan Pemkab Tabanan sebenarnya sebelum WWF digelar. Tapi karena pelaksanaan WWF ini menjadi tertunda. Rencana setelah WWF ini selesai akan menghadap kembali ke Bupati,” ucapnya.
Terpisah, Sekretaris Daerah Tabanan I Gede Susila mengatakan, adanya warning dari delegasi WWF tersebut tentunya menjadi masukan kepada Pemerintah Kabupaten Tabanan untuk melakukan perbaikannya kedepannya sesuai aturan yang ada.
“Kami berkomitmen untuk mempertahankan WBP. Atas masukan, saran dan koreksi dari manapun tentu ini menjadi masukan positif untuk perbaikan kedepannya,” ujarnya.
Untuk langkah selanjutnya, Susila mengaku, akan melakukan koordinasi bersama pihak-pihak terkait baik itu dari subak, desa adat, dan pemerintah. “Aturan sudah ada, tinggal dilaksanakan dan dipatuhi bersama oleh masyarakat,” imbuhnya. (ana)