PANTAUBALI.COM, TABANAN – Pengelola Yayasan Gayatri Widya Mandala yang berlokasi di Desa Delod Peken, Kecamatan Tabanan, Bali meluruskan sejumlah temuan yang disampaikan oleh anggota Komisi IV DPRD Tabanan saat inspeksi mendadak (sidak) pada Rabu (26/6/2025) kemarin.
Beberapa hal yang menjadi catatan Komisi IV antara lain ketidakseimbangan jumlah pengasuh dengan jumlah anak asuh, temuan makanan kedaluwarsa di gudang, serta dugaan penahanan ijazah milik anak-anak.
Selain itu, pihak yayasan juga membantah dugaan adanya eksploitasi anak seperti yang ramai beredar di media sosial beberapa hari terakhir.
Ketua Yayasan Gayatri Widya Mandala, Wiwin Sri Pujiastuti ketika ditemui Kamis (26/6/2025) menjelaskan, total anak yang kini berada di panti yakni sekitar 23 anak asuh dan 40 day care (titipan), karena memang selama ini yayasan memiliki dua bentuk layanan, yaitu panti asuhan untuk anak terlantar dan Taman Penitipan Anak (TPA).
Total anak asuh mencapai 23 orang yang terdiri dari 8 bayi dan 15 anak-anak. Delapan bayi ini dirawat dengan manajemen tersendiri dan dirawat secara bergiliran (shift) oleh tiga pengasuh pada siang dan malam hari. Selain itu ada tiga bayi titipan yang berada di panti.
“Untuk 15 anak asuh ditanggung penuh oleh yayasan. Mereka diasuh oleh enam orang pengasuh, termasuk saya dan suami sebagai bapak dan ibu asuh. Anak-anak tersebut kini berada di jenjang pendidikan TK hingga SMA,” ungkap Wiwin.
Terkait kegiatan memilah makanan di gudang, Wiwin menyebut kegiatan tersebut sudah menjadi agenda rutin anak-anak di panti. Memang tidak dilakukan setiap minggu atau bulan, tapi saat stok makanan menumpuk dan harus dipilah.
“Kami tidak hanya memilah yang kedaluwarsa, tapi juga yang mendekati tanggal kedaluwarsa, maksimal tiga bulan sebelumnya agar bisa segera dikonsumsi. Kalau sudah lewat masa kedaluwarsa, pasti kami buang,” tegasnya.
Ia juga membenarkan peristiwa keracunan makanan yang dialami beberapa anak beberapa waktu lalu.
Makanan itu berasal dari donatur, salah satu universitas di Bali. Enam anak dan satu pengurus mengalami gejala mual, pusing, diare, dan lemas, hingga harus dibawa ke UGD.
“Beruntung, seluruh korban cepat ditangani dan berhasil diselamatkan,” jelas Wiwin yang menjabat sebagai ketua yayasan sejak 2024 lalu.
Terkait adanya dugaan penahanan ijazah, Wiwin menjelaskan, hal tersebut terjadi karena anak yang bersangkutan sudah keluar tanpa izin atau ‘kabur’ dari yayasan. Sebagian besar ijazah yang belum diambil adalah ijazah tingkat SMP.
Sebelum tinggal di yayasan, para anak asuh biasanya menyerahkan ijazah sebagai syarat administrasi untuk keperluan pendaftaran sekolah. Hal ini dilakukan karena mayoritas anak-anak tersebut berasal dari daerah pelosok dan harus pindah domisili agar bisa mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik.
“Anak-anak ini perlu surat rekomendasi dari yayasan sebagai bukti bahwa mereka tinggal di sini. Saat ini, ijazah SMP milik anak-anak yang kabur masih ada di yayasan, sedangkan ijazah SMA mereka telah diambil langsung setelah lulus. Jadi kami tidak pernah menahan ijazah anak-anak,” jelas Ketua Yayasan, Wiwin Sri Pujiastuti.
Ia menambahkan, pihak yayasan juga telah menghubungi orang tua untuk mengambil ijazah anak-anak tersebut, namun hingga kini belum ada tindak lanjut.
Wiwin menegaskan, ada tiga bentuk pelanggaran berat yang tidak bisa ditoleransi di lingkungan yayasan, yakni pacaran, berbohong, dan mencuri.
“Ketiga hal itu adalah batasan tegas kami. Anak-anak yang kabur biasanya merasa tidak nyaman karena aturan kami ketat, padahal aturan itu kami terapkan agar mereka terbiasa hidup disiplin,” tandasnya.
Mengenai izin operasional yayasan, Wiwin mengakui bahwa izin berakhir pada akhir Mei 2025. Pihaknya sudah mengajukan perpanjangan pada Juni 2025 ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah Pemerintah Kabupaten Tabanan
“Namun, prosesnya memerlukan waktu karena kepala dinas perizinan masih dijabat oleh pelaksana tugas (Plt) yang merangkap sebagai Asisten II Setda Tabanan,” jelasnya.
Kemudian, terkait isu eksploitasi anak asuh yang disuruh berjualan bakso dan menyetor uang ke yayasan, Wiwin menyatakan kabar tersebut tidak benar.
Kejadiannya berawal dari anak yang bersangkutan beberapa kali melanggar aturan, salah satunya diam-diam membawa HP ke dalam panti. Setelah ditegur berkali-kali dan tetap melanggar, anak tersebut disarankan belajar kehidupan dunia luar dan untuk belajar hidup mandiri.
“Kami lakukan itu karena kami melihat karakter anak yang senang bertemu orang dan kami minta agar ia bejalar kehidupan di luar,” sambungnya.
Anak tersebut kemudian bekerja di salah satu pedagang bakso di sekitar Jalan Gajah Mada, Tabanan, dan membantu membuat serta mengantar minuman ke pembeli.
“Itu terjadi setahun lalu, saat libur sekolah. Hari pertama ia bekerja, katanya suka dan akhirnya bekerja selama empat hari. Setiap hari dia mendapat upah Rp50 ribu,” jelas Wiwin.
Ia mengaku yayasan pun mengajarkan anak tersebut berbagi melalui donasi kepada adik-adiknya di panti.
“Namun itu bukan paksaan. Anak itu sendiri yang ingin berdonasi, dan itu hanya dua kali dilakukan,” tambahnya.
Namun, anak tersebut akhirnya dikeluarkan dari yayasan pada November 2024 karena mengulangi kesalahan yang sama. “Saat itu dia duduk di kelas 2 SMA, usia sekitar 16 tahun,” ujar Wiwin.
Atas berbagai tuduhan yang beredar, Wiwin berharap klarifikasi ini dapat meluruskan informasi miring yang beredar di masyarakat agar tidak berdampak merugikan yayasan panti.
“Sebab, saat ini masih banyak anak asuh yang membutuhkan perhatian dan dukungan kami,” pungkasnya. (ana)