
PANTAU BALI.COM, DENPASAR – Warisan budaya tak benda kembali hidup di panggung Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025. Kali ini, prosesi sakral Perang Untek dari Desa Kiadan, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, diterjemahkan dalam bentuk karya seni tabuh Balaganjur yang dinamis dan penuh makna.
Karya bertajuk Perang Untek ini ditata secara musikal oleh I Putu Agus Mertayasa dengan konsep koreografi digarap oleh I Wayan Yosindra Kusuma dan Bagus Restu Waisnawa.
Seluruh proses kreatif ini dikembangkan di bawah konsep artistik I Gst Ngr Alit Supariawan, bersama para pembina seni dari komunitas Jong Gembyong.
Konseptor Gusti Ngurah Alit Supariawan menjelaskan, garapan Balaganjur ini mengusung konsep Perang Untek, sebuah tradisi budaya tak benda yang masih lestari di Desa Adat Kiadan, Petang, Badung.
“Kami ingin menggali kearifan lokal yang ada di Kecamatan Petang dan merasa tertantang untuk mengangkatnya ke dalam karya Balaganjur di PKB 2025,” ujarnya.
Menurutnya, Perang Untek merupakan prosesi ritual yang sarat makna spiritual sebagai permohonan keselamatan dan ungkapan syukur atas anugerah kesuburan alam. Konsep ini dinilai sejalan dengan tema PKB 2025, Jagat Kerthi, yang menekankan harmoni antara manusia dan alam semesta.
Prosesi Perang Untek sendiri merupakan tradisi sakral yang dilaksanakan setiap Purnama Sasih Kepitu, sebagai bentuk doa untuk keselamatan jagat raya serta ungkapan syukur atas anugerah kesuburan dan kemakmuran alam.
Prosesi ini memiliki keunikan simbolik berupa 555 tumpeng dan 777 untek/penek, dengan dominasi warna putih dan kuning yang merepresentasikan konsep arah Kangin-Kauh (timur-barat).
Dalam karya Balaganjur ini, unsur musikal diolah secara kontekstual, berpadu dengan koreografi yang mengacu pada makna ritual Perang Untek. Pola permainan ceng-ceng, reong, ponggang, dan gong dirancang mengikuti simbol angka sakral tersebut, membentuk kekuatan ritmis sekaligus daya tarik visual yang memperkuat penyampaian tema.
Suguhan ini sejalan dengan tema besar PKB 2025, yaitu Jagat Kerthi Lokahita Samudaya (Harmoni Semesta Raya), yang menempatkan keharmonisan antara manusia, alam, dan spiritualitas sebagai pilar utama kehidupan.
Karya Perang Untek yang ditampilkan oleh Komunitas Seni Jong Gembyong bukan sekadar hiburan, melainkan juga media pelestarian warisan budaya desa Kiadan, sekaligus bentuk pernyataan pentingnya merawat nilai-nilai adat, kearifan lokal, dan keharmonisan semesta di tengah tantangan zaman. (jas)