PANTAUBALI.COM, NASIONAL – Pemerintah Indonesia kembali menghidupkan wacana pemulangan lima narapidana anggota kelompok “Bali Nine”, yang saat ini menjalani hukuman seumur hidup di Lapas Kerobokan, Bali. Kelompok tersebut terdiri dari Michael Czugaj, Scott Rush, Matthew Norman, Si Yi Chen, dan Martin Stephen, yang terlibat dalam kasus penyelundupan narkoba pada 2005.
Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, mengonfirmasi bahwa kajian mendalam terkait rencana pemulangan ini sedang berlangsung. Kajian tersebut melibatkan sejumlah pihak, termasuk Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Yusril Ihza Mahendra, guna memastikan keputusan yang diambil memenuhi prinsip keadilan dan kepentingan nasional.
“Kami sedang membahas secara komprehensif rencana ini. Setiap langkah yang diambil harus memperhatikan hukum nasional serta menjaga hubungan baik dengan negara sahabat,” ujar Supratman, Minggu (24/11/2024).
Dukungan Presiden Prabowo dengan Catatan Tegas
Presiden Prabowo Subianto memberikan dukungan prinsipil terhadap rencana pemulangan ini, namun menegaskan bahwa para narapidana tetap harus menjalani hukuman di negara asal mereka.
“Pemindahan bukan berarti pembebasan. Kami memastikan hukum Indonesia tetap dihormati, sekaligus menjaga prinsip kerja sama internasional,” ujar Presiden Prabowo dalam pernyataan terpisah.
Diplomasi dan Prinsip Timbal Balik
Menurut Supratman, langkah ini juga bertujuan untuk mempererat hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia, negara asal para narapidana tersebut. Namun, pemerintah menekankan pentingnya prinsip saling menghormati dalam kerangka hukum internasional.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga tengah mengupayakan pemulangan warga negara Indonesia yang menjadi narapidana di luar negeri sebagai bagian dari upaya diplomasi timbal balik.
Keputusan Final Menunggu Persetujuan Presiden
Kajian yang sedang berlangsung akan melibatkan berbagai instansi terkait sebelum dibawa kepada Presiden untuk keputusan akhir. Pemerintah berharap keputusan yang diambil dapat memberikan manfaat diplomatik tanpa mengesampingkan prinsip hukum dan keadilan.
Dengan isu ini kembali mencuat, pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional dan hubungan internasional. Keputusan final akan menjadi tolok ukur bagaimana diplomasi hukum diterapkan dalam konteks yang sensitif seperti ini. (*)