
PANTAUBALI.COM, TABANAN – Aksi protes dilakukan oleh sejumlah petani di Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan pada Kamis (4/12/2025). Mereka memasang puluhan seng di lahan sawah yang terdapat akomodasi pariwisata di Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jatiluwih.
Aksi protes ini sebagai bentuk kekecewaan mereka atas tindakan Pansus TRAP DPRD Provinsi Bali dan Satpol PP Bali karena telah menutup sejumlah tempat usaha yang menjadi pendukung akomodasi wisata sekaligus tempat usaha dari para petani di Jatiluwih pada Selasa (2/12/2025) lalu.
Wayan Kawiasa (52), warga Banjar Jatiluwih Kawan, menyampaikan kekecewaannya terhadap penyegelan yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, kebijakan itu sangat merugikan petani yang berupaya memperbaiki perekonomian keluarga di tengah berkembangnya sektor pariwisata Jatiluwih.
“Kami petani lokal seperti ayam bertelur di atas padi. Telurnya diambil, tapi tidak boleh makan padinya,” ujarnya menggambarkan keadaan yang mereka rasakan.
Ia menjelaskan, hasil dari bertani tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga dirinya membuka warung sederhana sebagai tambahan penghasilan mengikuti pesatnya perkembangan wisata. Karena itu, ia meminta pemerintah memberi kepastian dan keadilan bagi para petani.
“Saya hanya minta keadilan. Kalau ditutup, apakah pemerintah mau menjamin kehidupan anak, istri, dan keluarga saya?” ucapnya.
Kawiasa juga belum mengetahui apakah bangunan miliknya termasuk dari 13 bangunan yang dinilai melanggar aturan tata ruang. Bangunan yang ia manfaatkan saat ini hanya gubuk berukuran 3×4 meter yang sebelumnya merupakan kandang sapi, lalu diubah menjadi warung.
“Terasering memang dibentuk dari dulu, tetapi kondisi seperti sekarang adalah hasil leluhur kami. Kenapa justru petani kecil yang dipersulit di tanahnya sendiri?” katanya.
Ia menambahkan, tidak ada insentif langsung dari pengelola DTW, dan bantuan yang diterima selama ini berupa pupuk dan bibit yang dibagikan ke kelompok subak, bukan per individu.
Selain itu, Kawiasa juga khawatir akan masa depan sawah di Jatiluwih. Ia menyebutkan bahwa minimnya regenerasi petani dapat mengancam keberlanjutan pertanian di kawasan tersebut.
“Mungkin saya generasi terakhir yang mau jadi petani. Anak saya kerja di kota dan tidak ingin bertani,” ujarnya.
Para petani berharap pemerintah dapat bersikap lebih bijak dan memberikan keadilan, sebab mereka juga ingin merasakan manfaat dari pariwisata yang semakin maju di Jatiluwih.
Sementara itu, warga lainnya, Nengah Darmika Yasa, salah satu pemilik lahan, menuturkan bahwa pemasangan seng dilakukan sebagai bentuk protes sekaligus upaya untuk mengingatkan pemerintah akan pentingnya menjaga status Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) UNESCO.
“Saat ini ada 15 seng yang kami pasang. Nanti menyusul lainnya di lahan petani yang dianggap melanggar oleh pansus,” ungkapnya.
Menurutnya, seng tersebut dipasang agar pengunjung merasa terganggu secara visual. Namun, di sisi lain, aksi itu disebut sebagai upaya menjaga kelestarian WBD karena pemerintah dinilai tidak konsisten dalam penegakan aturan.
“Kalau WBD tidak boleh terusik, ya sekalian saja jangan ada pariwisata. Tutup semua, jangan tebang pilih. Mereka datang tanpa permisi dan langsung menyegel. Bahkan Surat Peringatan ke-3 baru saya terima hari ini,” keluhnya.
Padahal, ia mengaku rutin membayar pajak tanah hingga 50 persen serta pajak rumah makan kepada pemerintah. Namun setelah memenuhi kewajiban pajak, justru akomodasi wisatanya ditutup. “Saya hanya menuntut keadilan,” tegasnya. (ana)
































