PANTAUBALI.COM, NASIONAL – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengimbau masyarakat agar meningkatkan kewaspadaan terhadap dinamika cuaca yang masih berpotensi ekstrem di sejumlah wilayah Indonesia.
Peringatan ini diberikan mengingat saat ini memasuki periode liburan sekolah, yang ditandai dengan meningkatnya mobilitas masyarakat untuk bepergian dan berwisata ke berbagai daerah.
“Keselamatan harus menjadi prioritas. Cuaca saat ini tidak bisa diprediksi hanya dengan kebiasaan atau intuisi. Kita semua perlu berbasis data dan bersiap menghadapi dinamika iklim yang terus berubah,” ujar Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dikutip dalam keterangan pers, Jumat (4/7/2025).
Ia menegaskan bahwa kondisi atmosfer dan laut saat ini masih sangat dinamis, yang berpotensi mengganggu kelancaran aktivitas masyarakat serta mengancam keselamatan.
Dalam sepekan terakhir, telah tercatat berbagai fenomena cuaca ekstrem yang berdampak serius, seperti hujan deras, angin kencang, banjir, tanah longsor, hingga kecelakaan transportasi.
Salah satu kejadian yang menjadi sorotan adalah tenggelamnya kapal KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada 1 Juli 2025, serta sejumlah gangguan penerbangan yang disebabkan oleh cuaca buruk.
Dwikorita menyebut, peristiwa ini sejalan dengan peringatan dini yang telah disampaikan BMKG sejak H-1 bahkan hingga beberapa hari sebelumnya, baik kepada masyarakat umum maupun sektor pelayaran dan penerbangan.
“BMKG secara rutin memperbarui prakiraan cuaca dan potensi gangguan cuaca ekstrem melalui berbagai kanal komunikasi,” tuturnya.
Dwikorita menjelaskan, cuaca ekstrem masih terpantau di awal Juli 2025. BMKG mencatat bahwa sekitar 30 persen wilayah zona musim di Indonesia telah memasuki musim kemarau hingga akhir Juni 2025.
Namun, angka ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan kondisi klimatologis normal, di mana lebih dari 60 persen wilayah biasanya sudah memasuki musim kemarau pada akhir Juni.
Fenomena ini dipengaruhi oleh curah hujan yang berada di atas normal sejak awal Mei dan masih terus berlangsung hingga saat ini. Berdasarkan data BMKG, sekitar 53 persen wilayah Indonesia mengalami curah hujan di atas normal, terutama di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
“Cuaca ekstrem juga masih berlangsung hingga awal Juli, seperti yang tercatat pada 2 Juli 2025, ketika Stasiun Geofisika Deli Serdang mencatat curah hujan ekstrem sebesar 142 mm, dan Stasiun Meteorologi Rendani Papua Barat sebesar 103 mm,” jelas Dwikorita.
Di sisi lain, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, menerangkan bahwa dinamika atmosfer yang terjadi saat ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor skala global dan regional.
Walaupun fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) dalam kondisi kurang aktif, labilnya atmosfer tetap terjadi akibat lemahnya hembusan Monsun Australia serta pengaruh gelombang ekuator seperti Rossby dan Kelvin.
“Hal ini menyebabkan udara di wilayah selatan Indonesia tetap lembap dan mendukung pembentukan awan hujan, bahkan di wilayah-wilayah yang secara klimatologis seharusnya sudah memasuki musim kemarau,” terang Guswanto.
Ia juga menambahkan bahwa kondisi laut memperburuk risiko cuaca ekstrem. Bibit siklon tropis 98W yang terpantau di wilayah sekitar Luzon memang tidak berdampak langsung terhadap Indonesia, namun menyebabkan peningkatan kecepatan angin di wilayah Laut Cina Selatan.
Sementara itu, adanya sirkulasi siklonik di Samudra Hindia barat Sumatera serta Samudera Pasifik utara Papua Nugini turut membentuk zona pertemuan dan perlambatan angin (konvergensi dan konfluensi) di sejumlah wilayah perairan Indonesia, seperti Laut Jawa, Laut Flores, dan bagian utara Maluku.
“Fenomena ini meningkatkan risiko gelombang tinggi dan hujan lebat di perairan terbuka. Kondisi ini perlu menjadi perhatian serius bagi sektor pelayaran dan nelayan,” tegasnya. (ana)