Arja Klasik Sirnaning Dirada Sungsang Duta Badung Bius Penonton di PKB 2025

Sanggar Citta Usadhi dari Banjar Gunung Sari, Desa Mengwitani, Badung, menampilkan drama tari Arja Klasik berjudul Sirnaning Dirada Sungsang di PKB 2025.
Sanggar Citta Usadhi dari Banjar Gunung Sari, Desa Mengwitani, Badung, menampilkan drama tari Arja Klasik berjudul Sirnaning Dirada Sungsang di PKB 2025.

PANTAU BALI.COM, DENPASAR – Panggung Kalangan Ayodya di Taman Budaya Art Centre Denpasar, Selasa (24/6/2025) malam, kembali hidup dengan pementasan seni tradisi yang memikat.

Kali ini, giliran Sanggar Citta Usadhi dari Banjar Gunung Sari, Desa Mengwitani, Badung, yang tampil membawakan drama tari Arja Klasik berjudul Sirnaning Dirada Sungsang. Pertunjukan ini merupakan bagian dari agenda resmi Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025.

Kisah yang diangkat merupakan hasil karya Prof. Dr. Desak Made Suarti Laksmi, guru besar ISI Denpasar, bersama suaminya, I Nyoman Cakra.

Cerita ini mengangkat keberanian tokoh Made Umbara, seorang pemuda yang berhasil memenangkan sayembara menaklukkan raksasa Dirada Sungsang demi menyelamatkan Rahaden Galuh, putri mahkota Kerajaan Swarnakaradwipa.

Dikisahkan, Rahaden Galuh hendak dijadikan tumbal oleh Ratu Pramiswari dari Keraton Kastila Manik Ratna kepada raksasa Dirada Sungsang. Beruntung, sang raksasa tidak segera memangsa Galuh dan justru menyisakan makanan.

Baca Juga:  Imbas Ketegangan Iran dan Israel, Penerbangan Qatar Airways dari Bali - Doha Dibatalkan

Dalam kondisi terdesak, sang putri berdoa agar Tuhan mengutus penolong. Ia berikrar, bila yang datang seorang wanita, akan dianggap saudari sejiwa, dan bila seorang pria, ia siap menyerahkan diri untuk berbakti kepadanya.

Sementara itu, Made Umbara yang telah beranjak dewasa mendapatkan petunjuk dari gurunya, Ki Dukuh, untuk segera mencari pasangan hidup. Namun, tugas utamanya adalah menumpas Dirada Sungsang yang bersembunyi di Kawah Gohmaya Cambra, wilayah Gili Parang Gamping.

Pertarungan pun terjadi. Dengan memanfaatkan taring permata kalung pusaka milik Rahaden Galuh, Motiwirasadi, Made Umbara berhasil mengalahkan Dirada Sungsang.

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, raksasa tersebut mengungkapkan bahwa dirinya adalah seorang Gandarwa yang tengah menebus kutukan di dunia fana dan berterima kasih atas pembebasannya.

Baca Juga:  PKB 2025 Jadi Panggung Promosi UMKM Bali

Dalam perjalanan pulang, Made Umbara dihadang oleh Prabu Gilingwesi. Merasa yakin bahwa musuhnya telah tewas dengan pusaka Liwungpitana, raja itu merebut kepala Dirada Sungsang dan membawa Rahaden Galuh ke keraton sebagai bukti kemenangan.

Namun, di hadapan Prameswari, Rahaden Galuh membantah bahwa Prabu Gilingwesi adalah pembunuh Dirada Sungsang. Ia meminta diadakan perang tanding terbuka untuk membuktikan siapa yang benar.

Dalam pertarungan di Keraton Kastila Manik Ratna itu, Prabu Gilingwesi akhirnya tumbang di tangan Made Umbara, yang ternyata merupakan Rahaden Anindita Kirtana, keturunan Prabu Kenakadwipa.

Prof. Dr. Desak Made Suarti Laksmi menyebutkan, pementasan ini memuat berbagai pesan moral. “Cerita ini mengajarkan tentang pentingnya kejujuran, cinta, harga diri, dan semangat kepahlawanan. Di zaman sekarang, kejujuran menjadi hal langka.

Baca Juga:  Buka Pesta Kesenian Bali 2025, Fadli Zon Puji Keragaman Budaya Bali

Banyak yang mengaku benar, namun kita tak tahu mana yang benar-benar jujur. Melalui cerita ini, kami ingin mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada,” ujarnya sebelum pertunjukan dimulai.

Ia juga menambahkan bahwa proses persiapan pertunjukan sudah dilakukan sejak awal September 2024, melibatkan sekitar 30 seniman. Menariknya, sebagian besar penari yang tampil adalah seniman muda, bahkan ada yang masih usia sekolah dasar.

“Karena banyak pemula, latihan intensif kami lakukan sejak jauh-jauh hari,” ungkap perempuan kelahiran Banjar Kawan Manggis, Karangasem, 28 Maret 1959 tersebut.

Pertunjukan malam itu membuktikan bahwa seni tradisi Bali tetap lestari, dengan semangat regenerasi yang kuat melalui keterlibatan anak-anak muda di panggung seni budaya. (jas)