Perda Desa Adat Bali Jadi Tameng Masuknya Ormas Luar 

Klian Desa Adat Kesiman Denpasar dan juga sebagai Ketua Forum Komunikasi (Forkom) Taksu Bali Jro Mangku Wisna.
Klian Desa Adat Kesiman Denpasar dan juga sebagai Ketua Forum Komunikasi (Forkom) Taksu Bali Jro Mangku Wisna.

PANTAUBALI.COM, DENPASAR – Organisasi masyarakat (Ormas) berkedok pengamanan masuk Pulau Dewata tengah menjadi sorotan masyarakat.

Di media sosial ramai beredar foto dan video yang menampilkan keberadaan organisasi masyarakat Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) di Bali. Kehadiran ormas tersebut pun menuai berbagai tanggapan masyarakat.

Mereka mempertanyakan tujuan dan keberadaan GRIB di tengah sistem keamanan adat Bali dengan Pecalang yang sudah sejak lama diterapkan seluruh desa adat di Bali.

Klian Desa Adat Kesiman Denpasar dan juga sebagai Ketua Forum Komunikasi (Forkom) Taksu Bali Jro Mangku Wisna (JMW) mengatakan, Gubernur Bali Wayan Koster mengunci pintu Pulau Dewata dengan menerbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang desa adat.

Dalam Perda tersebut jelas diatur terkait desa adat, organisasi, fungsi, peran, dan hubungan desa adat dengan pemerintah daerah.

Baca Juga:  Gubernur Koster Minta Percepat Penerapan Usada Bali dalam Sistem Kesehatan

Tujuan Perda ini tentu untuk melindungi, menjaga, dan mengembangkan kelembagaan desa adat serta kearifan lokal di Bali.

“Beliau (Wayan Koster) sudah lebih dulu membaca arah bahaya. Ormas-ormas yang datang dengan baju pengamanan tapi punya agenda lain, itu bukan untuk Bali. Itu sebabnya lahir Perda Nomor 4 Tahun 2019 dan Pergub Nomor 20 Tahun 2020,” ujarnya Minggu (4/5/2025).

JMW menyampaikan Gubernur Koster telah mengunci gerbang Pulau Dewata  sejak awal. Untuk itu ia mengajak semua aparat desa adat bersatu menjaga Bali.

“Sekarang giliran kita semua, terutama desa adat, untuk berjaga. Jangan beri ruang, jangan beri celah,” katanya.

Ia pun berharap seluruh desa adat untuk tetap bersatu dan waspada. Ancaman ormas liar, katanya, tidak hanya fisik tetapi juga ideologis yang dapat menggerus nilai-nilai harmoni dan rasa aman yang telah lama menjadi ciri khas masyarakat Bali.

Baca Juga:  Kumpulkan Pelaku Usaha, Koster Minta Segera Laksanakan Gerakan Bali Bersih Sampah

Dia mengatakan, peraturan yang telah diterbitkan Gubernur Koster merupakan payung hukum yang mengikat untuk menegaskan sistem keamanan di Bali bersumber dari adat istiadat sendiri.

Pecalang, sebagai ujung tombak pengamanan berbasis desa adat, telah menjalankan perannya sejak lama dengan kedekatan sosial dan kewibawaan budaya yang tidak dimiliki oleh ormas.

“Pecalang itu bukan aparat semu. Mereka tahu siapa yang tinggal di lingkungannya, siapa tamu yang datang, dan bagaimana cara mengedepankan dialog tanpa kekerasan. Ditambah dengan Sipandu Beradat, sistem kita sudah solid. Tidak perlu ormas luar yang justru bisa menambah keruwetan,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan, kemunculan ormas-ormas yang tiba-tiba masuk ke pasar, proyek, atau kawasan adat seringkali membawa pola-pola yang mencurigakan. Ada yang beroperasi tanpa izin desa adat, ada pula yang justru meresahkan warga.

Baca Juga:  Atasi Ketakutan Bali Blackout, Menteri LHK Beri Sinyal Hijau untuk Terminal LNG Sidakarya

“Kalau datang bawa nama pengamanan tapi ujungnya maksa, minta jatah, atau bikin warga takut, itu bukan pengamanan. Itu pemerasan. Itu premanisme. Dan Bali tidak boleh kompromi soal itu,” katanya.

JMW juga menggarisbawahi, kekhususan Bali dalam sistem hukum nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, memberikan hak konstitusional bagi pemerintah daerah untuk menjaga keotentikan adat dan budayanya. Ini termasuk menolak segala bentuk organisasi yang bertentangan dengan spirit kearifan lokal.

“Bali ini bukan tanah kosong yang bisa dimasuki siapa saja seenaknya. Kita punya aturan, punya adat, punya cara sendiri untuk menjaga keamanan. Bukan dengan kekerasan, bukan dengan pungli, bukan dengan intimidasi,” imbuhnya. (ana)