MK Revisi UU ITE, Keributan di Medsos Tak Lagi Masuk Pidana

Ilustrasi UU ITE
Ilustrasi UU ITE. (Foto:Freepik)

PANTAUBALI.COM, JAKARTA– Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan kegaduhan atau keributan yang terjadi di media sosial atau ruang digital tidak bisa dianggap sebagai tindak pidana berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Keputusan ini disampaikan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang putusan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024 yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Selasa (29/4/2025).

MK menyatakan bahwa istilah “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2024 tidak sesuai dengan UUD 1945. Istilah tersebut dianggap tidak berlaku secara hukum jika diartikan sebagai kerusuhan di dunia digital, seperti di media sosial.

Baca Juga:  5 Kesepakatan Indonesia dan Amerika Untuk Batalkan Tarif Trump

Sebaliknya, kata “kerusuhan” harus dimaknai sebagai gangguan terhadap ketertiban umum yang terjadi di dunia nyata atau ruang fisik.

Pasal 28 ayat (3) UU ITE sendiri mengatur tentang larangan menyebarkan berita bohong yang dapat menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Namun menurut Hakim MK Arsul Sani, aturan ini bermasalah karena tidak memberikan batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “kerusuhan” atau “keonaran”.

Baca Juga:  Sejarah Hari Buruh 1 Mei, Perjuangan Panjang Kaum Pekerja

MK juga menilai, konsep kerusuhan dan keonaran dalam aturan tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, di mana masyarakat kini memiliki akses informasi yang luas dan mudah, terutama melalui media sosial.

Berbagai bentuk kritik dan pendapat masyarakat terhadap kebijakan pemerintah di media sosial seharusnya dilihat sebagai bagian dari dinamika demokrasi, bukan dianggap sebagai tindakan yang menimbulkan keonaran dan pantas dipidana.

Baca Juga:  Pemerintah Akan Serahkan 100 Unit Rumah Subsidi Untuk Buruh Pada 1 Mei

“Dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat dan kritik berkenaan dengan kebijakan pemerintah di ruang publik, seyogianya disikapi sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari partisipasi publik dan bukan serta merta dianggap sebagai unsur yang menjadi penyebab keonaran yang dapat dikenakan proses pidana oleh aparat penegak hukum,” ujar Asrul. (ana)