Tradisi Mapeed dan Ngerebeg, Rangkaian Pujawali Pura Dalem Kahyangan Kedaton

Mapeed, rangkaian pujawali Pura Dalem Kahyangan Kedaton.
Mapeed, rangkaian pujawali Pura Dalem Kahyangan Kedaton.

PANTAUBALI.COM, TABANAN – Serangkaian pujawali Pura Dalem Kahyangan Kedaton yang terletak di Objek Wisata Alas Kedaton, Warga Desa Adat Kukuh, Desa Kukuh, Kecamatan Marga Tabanan menggelar tradisi Mapeed dan Ngerebeg, Selasa (22/8/2023).

Pujawali yang diperingati setiap enam bulan tepatnya pada Anggarakasih Medangsia, tersebut diikuti oleh 12 Banjar Adat sedangkan satu Banjar Adat menjadi panitia karya.

Tradisi Mapeed mulai pukul 13.00 WITA, diikuti oleh ibu-ibu yang seragam mengenakan pakaian adat dengan berjalan beriringan sambil mengusung gebogan setinggi sepuluh meter menjadi daya tarik bagi wisatawan asing yang sedang berkunjung ke Daya Tarik Wisata (DTW) Alas Kedaton.

Baca Juga:  Komisi II Minta Perbaikan SDN 1 Pandak Gede dan Geluntung Melaui APBD Perubahan 2025

Iring-iringan tersebut mengambil start dari banjar masing-masing menuju Pura Dalem Kahyangan Kedaton serta diiringi baleganjur dan sesuhunan yakni Barong Ket dan Barong Landung yang ada di masing-masing banjar.

Bendesa Adat Kukuh I Gusti Ngurah Artha Wijaya mengatakan, prosesi persembahyangan akan dilaksanakan setelah semua krama dari 12 Banjar Adat tersebut berkumpul di Pura.

“Tradisi ini rutin kami laksanakan setiap enam bulan sekali,” ujarnya.

Ia menyebut, para pemedek yang bersembahyang di Pura Dalem Kahyangan Kedaton dilarang menghidupkan dupa.
Tradisi tersebut telah ada sejak lama, karena masyarakat percaya sejak pertama kali ditemukan, lingkungan pura dalam kondisi panas sehingga sejak saat itu larangan menghidupkan dupa diberlakukan.

Baca Juga:  Jatiluwih Dinobatkan Sebagai Desa Terbaik Dunia Versi UN Tourism

“Kalau secara logika, Pura Dalem Kahyangan Kedaton berada di tengah hutan Alas Kedaton yang merupakan habitat kera. Jadi kalau menghidupkan dupa dan tiba-tiba dibawa kera ke tengah hutan, maka ditakutkan akan terjadi kebakaran hutan,” jelasnya.

Setelah melakukan persembahyangan bersama, pujawali ditutup dengan melaksanakan tradisi ngerebeg.

Tradisi ini, kata Ngurah Arta, bermakna gereget atau suka cita atas selesainya seluruh rangkaian piodalan.

Baca Juga:  Kampanye di Desa Kaba-Kaba, Mulyadi-Ardika Tunjukkan Komitmen Dukung Seni dan Budaya Lokal

Selain itu, pelaksanannya tidak boleh lewat dari pukul 19.00 WITA atau sebelum matahari terbenam. Sebab, dipercaya setelah matahari terbenam ada penangkilan secara niskala atau wong samar (mahkluk halus).

“Ngerebeg itu memutari pura sebanyak tiga kali dari kanan ke kiri. Dari 12 banjar itu digilir untuk melaksanakan tradisi ini serta diikuti oleh semua krama dari muda hingga tua,” paparnya. (ana)