Ipung Kecewa, Terdakwa Kejahatan Seksual Pelajar WNA Jepang Divonis 2 Tahun Penjara

DENPASAR – Pantaubali.com – Setelah kasus tindak kejahatan seksual terhadap adik kelas (15) dilakukan seorang pelajar WNA asal Jepang berinisial FS (17) telah menjalani persidangan perdana tertutup secara online dipimpin Majelis Hakim, Kony Hartanto, di Ruang Sidang Anak, Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, beberapa hari lalu (Selasa (6/12).

Selanjutnya terdakwa juga telah memasuki tahap persidangan putusan digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, kemarin, (Selasa (13/12) di Denpasar.

Terdakwa FS divonis dalam sidang putusan tersebut hukuman 2 tahun penjara dan pelatihan kerja selama 3 bulan. Atas keputusan ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan masih pikir-pikir.

Disela berakhirnya sidang putusan, Advokat, Dewa Ayu Putu Sri Wigunawati, S.Sos., SH., M.Si menyampaikan, sudah terbaik di lakukan tentu, dapat dilihat bahwa, makna dari putusan disampaikan Hakim adalah, bagaimana anak ini (Terdakwa FS) dapat disiplin, kemudian merubah diri serta lebih baik lagi harapannya.

Menurut Dirinya, tidak murni anak tersebut (Terdakwa FS) adalah di vonis dan di hukum seperti apa disampaikan.Akan tetapi, dicari adalah intinya.Anak ini diharapkan dapat lebih baik di masa depan dengan diberikan pelatihan kerja kemudian tetap diberikan kesempatan belajar.

Baca Juga:  Pria Alor Aniaya Pasutri Kerabatnya di Denpasar, Berawal dari Masalah Adat

“Inilah kita harapkan.Karena, sekali lagi, antara anak korban dan anak pelaku adalah sama-sama anak-anak.Maka, ini adalah pekerjaan kita bersama jangan sampai hal ini terulang kembali dikemudian hari”, katanya.

Dirinya berharap, bahwa ketika hal ini sudah diputuskan oleh Hakim akan ada perubahan sikapnya.Baik, dari anak korban maupun dari anak itu sendiri guna menjaga bagaimana melakukan pertemanan dan bagaimana bergaul sehingga, kejadian seperti ini tidak terjadi kembali.

Selanjutnya, Kuasa hukum korban, Siti Sapurah yang akrab dipanggil Ipung merasa sangat kecewa dengan tuntutan terlalu sangat dibawah dari minimum.Akan tetapi, inilah Undang-Undang Indonesia.Selain ada Pasal 79 Ayat 2 mengatakan, “Separuh dari ancaman orang dewasa ada yang ke tiga juga anak tidak dikenakan batas minimum”.

Dirinya mempunyai penafsiran berbeda karena, dengan lahirnya Perpu Nomor 1 tahun 2016 menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 kasus kejahatan seksual atau kekerasan seksual dulunya ada di Undang-Undang 23 tahun 2002 perubahan pertama Undang-Undang Nombor 35 tahun 2014 memang menjadi kekerasan seksual akan tetapi, begitu adanya Perpu Nomor 1 tahun 2016 menjadi Undang-Undang Nomor 17 yang khusus mengatur Pasal 81 tentang persetubuhan Pasal 82 tentang pencabulan menjadi kejahatan luar biasa.

Baca Juga:  Debat Ketiga Pilgub Bali, Mulia-PAS Janji Atasi Ketimpangan UMP, Koster-Giri Fokus Tingkatkan Kualitas SDM

“Disinilah perbedaan kita menafsirkan pasal karena, kalau kita masih mengacu bahwa kekerasan seksual sudah menjadi kejahatan luar biasa harusnya tidak lagi mengacu kepada Pasal 79 UU Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak Ayat 3 karena, tidak lagi menjadi kekerasan biasa akan tetapi, kejahatan luar biasa yang mempunyai batas minimum”, paparnya.

Baca Juga:  Sempat Viral Naik Truk, Belasan Anak Punk Diamankan di Simpang Cokroaminoto

Dirinya menyebutkan, disini kita sedikit berbeda dalam mengartikan Pasal pada Undang-Undang sistem peradilan pidana tentang Pasal 76 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012.

Dirinya tetap berterima kasih kepada Hakim yang menyidangkan perkara ini karena, tuntutan Jaksa penuntut umum yaitu, 2 tahun penjara dan 3 bulan kerja sosial.

Akan tetapi Dirinya merasa kecewa dikarenakan, terlalu murah serta mengorbankan anak Indonesia.Akhirnya kita tunduk dengan warga negara asing.

“Semoga tidak lagi melakukan banding, jika pun ada banding saya akan melakukan sesuatu.Saya akan mengawal kasus ini bahkan sampai kasasi saya akan kawal karena ini terlalu rendah bagi saya”, tutupnya.