DENPASAR – Pantaubali.com – Setelah kasus tindak kejahatan seksual terhadap adik kelas (15) dilakukan seorang pelajar WNA asal Jepang berinisial FS (17) yang telah menjalani persidangan perdana tertutup secara online dipimpin Majelis Hakim, Kony Hartanto, di Ruang Sidang Anak, Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, beberapa hari lalu (Selasa (6/12).
Dalam proses sidang yang masih berjalan hingga saat ini, Kuasa hukum korban, Siti Sapurah, merasa tuntutan Jaksa Penuntut Umum terdakwa FS (17) yaitu, Dua tahun penjara, tiga bulan kerja sosial tanpa Denda rendah.
Hal tersebut membuat Siti Sapurah merasa terpukul.Menurut Dirinya, bukan dirinya saja merasa terpukul akan tetapi, para penegak Hukum Indonesia serta anak-anak Indonesia tentu merasa terpukul juga.
Dirinya merasa, memang melihat adanya sinyal tidak baik dari awal, atau mulai pada tahap duanya.
Menurut wanita yang akrab disapa Ipung ini, merasa terdakwa terlihat mendapat perlakuan istimewa.Mulai dari, pelimpahannya hanya meyerahkan berkas serta dalam persidangan terdakwa juga melalui Daring.
Hal tersebut tentu menjadi pertanyaan besar bagi Ipung dengan menyampaikan, apakah Jaksa Penuntut Umum pernah melakukan hal istimewa tersebut terhadap anak terdakwa warga negara Indonesia.Selanjutnya Dirinya juga mempertanyakan bagaimana pelimpahan dapat dilakukan melalui Daring alasan pembenarnya seperti apa.
“Bukannya seseorang pada tahap dua, pelimpahan barang bukti terdakwa telah dilakukan BAP dihadapkan kepada Jaksa penuntut umum yang menerima berkasnya”, jelasnya di Denpasar.
Dirinya menyampaikan, selain itu juga terdakwa kembali mendapat keistimewaan pada persidangan per tanggal 6 Desember 2022.Sidang terdakwa dilakukan secara On Line.Tentunya tidak ada pembenar adanya alasan dalam kondisi Pandemi ini.Apa lagi sidang anak dilakukan secara tertutup untuk umum, tentu tidak ada orang melihat.Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan dirinya, kenapa sidang dilakukan secara On Line.
Menurut Dirinya, lebih parah lagi korban dan keluarga korban dihadirkan di ruang sidang.Sedangkan anak terdakwa tidak.Selain itu juga, saksi-saksi lainnya dalam persidangan dilakukan semua melalui On Line juga.
“Apakah itu adil buat Indonesia.Tentu saya (Siti Sapurah) mengatakan tidak adil”, cetusnya.
Selanjutnya Dirinya sebagai kuasa hukum korban telah diberi kuasa hukum oleh keluarga korban.Akan tetapi, anehnya malah pengacara terdakwa keberatan atas hadirnya pengacara korban.Alasanya karena, posisinya telah digantikan oleh Jaksa, jika Jaksa dianggap sebagai penggantinya korban, kenapa menuntutnya dibawah minimal.
“Saya hadir dalam persidangan karena berkeinginan mengetahui apakah jalannya persidangan telah berjalan dengan jujur serta tidak ada permainan”, katanya.
Menurut Ipung, tuntutan dua tahun penjara tiga bulan, bukannya minimalnya jika merujuk pada Pasal 81 Ayat 2 UU Nombor 17 tahun 2016.Selain itu jika melihat pasal 81 Ayat 2 minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.
Akan tetapi, mengapa dituntutnya 2 Tahun 3 Bulan.Dirinya telah mengaku protes ke jaksa, alasanya kenapa tidak ada minimalnya Seharusnya tuntutanya 2,6 tahun.
“Kenapa dalam hal ini harus Jaksa yang menuntut minimalnya.Tentu bukan Jaksa yang menentukan separuhnya akan tetapi, Hakim yang menentukannya nanti”, katanya.
Dirinya berencana akan mengambil langkah selanjutnya yaitu, akan melaporkan Jaksa tersebut ke kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan Agung di Jakarta.
“Karena saya merasa keberatan, Saya disini hadir sebagai wakil dari negara Indonesia melindungi anak-anak Indonesia bukan warga negara asing.UU sistem peradilan Pidana Nombor 11 tahun 2012 dilahirkan untuk anak Indonesia.Dilahirkan untuk melindungi anak sebagai korban bukan anak pelaku warga negara asing yaitu, Jepang”, paparnya.
Dirinya berharap, meskipun dalam hal ini Jaksa menuntutnya sangat rendah, akan tetapi sangat diharapkan hakim yang mulia adil.Sembari menambahkan, karena, dalam kaitan dengan kasus tersebut anak pelaku bukan baru pertama kalinya melakukan perbuatannya tersebut.Anak pelaku telah melakukannya yang kedua kalinya.