PANTAUBALI.COM, TABANAN – Di tengah kekhawatiran akan pencabutan status Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO akibat maraknya pelanggaran tata ruang, Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPRPKP) Kabupaten Tabanan justru enggan berkomentar.
Kepala Dinas PUPRPKP memilih untuk tidak memberikan komentar terkait langkah penanganan terhadap 13 usaha yang disebut melanggar aturan, termasuk satu bangunan restoran baru yang berdiri di atas sepadan jalan.
“Kalau untuk nike tiang ten koment nggih (kalau untuk iitu saya tidak berkomentar ya,” ujar Kepala Dinas PUPRPKP Kabupaten Tabanan, I Made Dedy Darmasaputra, singkat melalui pesan WhatsApp tanpa memberikan alasan terkait pernyataannya tersebut, Kamis (7/8/2025).
Sebelumnya, pada Rabu (6/8/2025), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tabanan dari Komisi I hingga IV melakukan pengecekan langsung terhadap bangunan usaha yang diduga melanggar tata ruang di kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel. Kegiatan ini dipimpin oleh Wakil Ketua I DPRD Tabanan, I Made Asta Darma.
Dari hasil pengecekan, DPRD memastikan bahwa 13 usaha tersebut memang terbukti melanggar ketentuan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tabanan Tahun 2023–2043.
Bahkan, seluruh usaha tersebut telah mendapatkan Surat Peringatan (SP) Kedua yang dikeluarkan oleh Dinas PUPR Tabanan.
Tak hanya itu, DPRD juga menemukan dugaan pelanggaran baru berupa pembangunan restoran Jepang di atas sepadan jalan, serta aktivitas pengurugan lahan sawah di dekat Kantor Manajemen Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih yang menurut informasi akan dijadikan lahan parkir oleh salah satu tempat usaha di kawasan tersebut.
“Jika pelanggaran ini tidak segera dikendalikan, dampaknya bisa sangat serius, yakni pencabutan status Jatiluwih sebagai warisan dunia,” tegas Wakil Ketua I DPRD Tabanan, I Made Asta Darma saat meninjau lokasi, Rabu (6/8/2025).
Ia menegaskan, DPRD akan mengeluarkan rekomendasi kepada pihak eksekutif, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Tabanan, setelah melalui rapat-rapat kerja. DPRD juga akan mencari solusi terbaik agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Meski begitu, pihaknya menekankan perlunya ketegasan tanpa harus sampai pada pembongkaran bangunan, mengingat usaha-usaha tersebut milik warga lokal di sekitar Desa Jatiluwih yang juga berhak mendapatkan manfaat dari aktivitas pariwisata di kawasan tersebut.
“Kami inginkan ya jangan sampai ada pembongkaran, yang penting karena kawasan ini juga berada di bawah naungan UNESCO. Kalau kita ingin mempertahankan bangunan tapi nyatanya UNESCO sudah melarang, pasti akan berdampak pada pencabutan status warisan budaya dunia. Kalau memang nanti harus diberikan tindakan, maka rekomendasinya harus sesuai dengan itu juga,” tegasnya.
Sementara itu, Perbekel Jatiluwih, I Nengah Kartika, menegaskan, pihak desa tetap berkomitmen menjaga kawasan Jatiluwih sebagai kawasan warisan budaya yang berakar pada pertanian. Ia juga menjelaskan, tidak semua bangunan pelanggar berada dalam wilayah administratif Desa Jatiluwih, melainkan sebagian berada di desa tetangga seperti Senganan.
Ia pun menyebutkan, ke-13 bangunan yang diduga melanggar itu sebenarnya sudah berdiri sebelum penetapan Jatiluwih sebagai WBD oleh UNESCO dan penetapan Perda RTRW Tabanan pada tahun 2023.
Terkait bangunan baru di atas sepadan jalan, Kartika menyebut desa tidak pernah menerima laporan resmi dan baru mengetahui keberadaan bangunan tersebut setelah proses pengurugan berjalan.
“Soal izin katanya sudah lengkap, tapi kami tidak tahu menahu soal itu. Urusan izin adalah kewenangan pemkab,” tambahnya.
Di tengah kekhawatiran akan pencabutan status WBD oleh UNESCO, belum adanya tanggapan pasti dari Dinas PUPRPKP menimbulkan tanda tanya besar mengenai sejauh mana langkah konkret pemerintah daerah dalam menindak pelanggaran tata ruang di kawasan vital tersebut.
Anggota DPRD Tabanan menyatakan akan segera menjadwalkan rapat kerja bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis terkait, termasuk Dinas PUPRPKP, untuk mencari solusi terbaik yang tidak merugikan masyarakat lokal, namun tetap menjaga integritas kawasan warisan dunia. (ana)