PANTAUBALI.COM, DENPASAR – Di balik tawaran uang untuk membuka rekening bank, ratusan identitas warga dijual ke Kamboja dan digunakan untuk judi online serta aktivitas ilegal lainnya. Itulah modus sindikat kejahatan siber lintas negara yang baru saja diungkap Direktorat Reserse Siber Polda Bali.
Terungkapnya kejahatan ini berawal dari penggerebekan yang dilakukan pada Senin (8/7/2025) di sebuah rumah kontrakan di Jalan Batas Dukuh Sari Gang Cendrawasih, Sesetan, Denpasar Selatan. Enam orang ditangkap dalam operasi tersebut, termasuk satu “ketua” yang dulu bekerja sebagai tukang kain.
“Saat nawarkan buka rekening, pelaku beralasan untuk trading bahkan ada yang mengaku untuk keperluan pengusaha agar bisa menghindari pajak. Korbannya dari latar belakang ekonomi lemah, seperti ojek online dan pegawai toko,” ujar Direktur Reserse Siber Polda Bali, Kombes Pol Ranefli Dian Candra dalam konferensi pers, Rabu (9/7).
Sekelompok tersangka berkeliling dan mendatangi rumah-rumah warga, menawarkan bantuan pembukaan rekening bank. Korban hanya diminta menyerahkan KTP dan Kartu Keluarga. Setelah itu, rekening yang dibuat atas nama korban beserta data digitalnya, dijual Kamboja.
Awalnya, salah satu tersangka inisial CP (43),yang dulunya berprofesi sebagai tukang kaini, mengaku bertemu seorang bernama AW yang kemudian menawarkannya ‘pekerjaan’ mengatur pengumpulan data dan rekening bank warga Indonesia.
“Awalnya CP bekerja sendiri. Tapi dalam tiga bulan, ia mulai merekrut orang lain untuk jadi admin dan marketing,” kata Ranefli.
Dalam penggerebekan, polisi mengamankan enam tersangka yakni CP sebagai koordinator lokal, SP (21) selaku admin, serta RH (42), NZ (20), FO (24), dan PF (30) yang bertugas mencari korban atau marketing.
Namun aktor intelektualnya belum tertangkap. Dua nama masih buron AWM dan S yang diyakini sebagai perantara ke Kamboja yang saat ini masih berstatus buron.
Barang Bukti yang diamankan yakni 60 Ponsel, Belasan Tablet, 15 ponsel berisi aplikasi mobile banking aktif, 60 ponsel baru berbagai merek, Tablet Xiaomi dan Huawei, Puluhan kartu ATM, Lima buku catatan berisi daftar rekening dan keuntungan.
Sindikat ini disebut sudah beroperasi sejak September 2024 dan memproduksi lebih dari 200 rekening. Barang bukti memperlihatkan jaringan mereka sangat terorganisir. Kartu ATM dan ponsel dikirim langsung ke luar negeri, sedangkan data digital ditransfer via aplikasi online. Mereka bahkan menggunakan protokol komunikasi khusus melalui WhatsApp.
Para tersangka dijerat Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 67 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Ancaman hukumannya: maksimal lima tahun penjara dan denda hingga Rp 5 miliar.
“Penyalahgunaan data pribadi bukan kejahatan ringan. Ini ancaman nyata terhadap keamanan sistem informasi nasional dan kepercayaan publik,” tegas Kombes Ranefli.
Polda Bali kini terus mendalami kasus ini, menelusuri jejak digital dan aliran dana, serta membuka kemungkinan adanya jaringan serupa di provinsi lain. (ra)