
PANTAUBALI.COM, BADUNG – Aura magis menyelimuti Kalangan Ayodya, Taman Budaya Art Center Denpasar pada Sabtu malam (5/7/2025) saat Sanggar Seni Paras Paros, Banjar Ketapang, Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung, mempersembahkan pagelaran Barong Landung bertajuk ‘Pula-Pala’.
Pertunjukan ini menjadi bagian dari perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 yang tahun ini kembali memberi ruang bagi kekayaan seni tradisi rakyat.
Lebih dari sekadar pementasan seni, ‘Pula-Pala’ hadir sebagai pengantar pesan filosofis yang dalam. Judulnya sendiri bermakna bahwa segala sesuatu yang tumbuh berasal dari benih yang ditanam.
Pesan ini menjadi pengingat bahwa apa yang tertanam dalam pikiran, terucap dalam kata, dan tergambar dalam tindakan manusia, kelak akan kembali sebagai buah kehidupan. Sebuah nilai luhur yang dibungkus dalam dramatari penuh keindahan artistik.
Cerita yang diangkat berasal dari kearifan lokal masyarakat pesisir Kedonganan. Pagelaran ini menjadi ungkapan syukur kepada sosok spiritual Ratu Gede Bagus Pengenter, yang dipercaya berstana di Puri Tegeh Gumi dan dipuja sebagai penjaga harmoni alam, penolak bala, serta pelimpah berkah bagi hasil laut, ternak, dan kesejahteraan desa.
Alur kisah bermula dari perjalanan spiritual Ki Dukuh Kawia, seorang resi suci yang mendapat sabda saat semadi. Ia kemudian memimpin masyarakat untuk menarikan Rejang Patedun, ritual sakral memohon hadirnya Taru Pule – pohon suci yang diyakini memiliki daya spiritual untuk mewujudkan tapakan Barong Landung, sebagai simbol penjaga desa dan pelindung keharmonisan alam semesta.
“Ini bukan sekadar pohon atau media upacara, tapi tentang niat suci yang kita tanam di dalam hati,” ungkap Wayan Adi Saputra, S.Sn., sutradara sekaligus koordinator pagelaran.
Menurutnya, ‘Pula-Pala’ lahir dari keseharian masyarakat Kedonganan yang sarat kearifan lokal. Melalui karya ini, mereka berupaya merawat budaya sekaligus menyampaikan pesan penting tentang hubungan manusia dan alam.
Wayan Adi juga menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Kabupaten Badung dan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali atas ruang yang diberikan bagi seniman lokal. “Adanya kategori Barong Landung tahun ini menjadi penyemangat bagi kami untuk terus berkarya. Kami sangat bersyukur bisa mengekspresikan tradisi yang kami warisi,” katanya.
Proses kreatif menuju pentas ini berlangsung sejak April hingga Juni 2025. Selama tiga bulan, para seniman terlibat dalam latihan intens mempersiapkan garapan berdurasi sekitar satu jam. Sebanyak 18 penabuh, 1 penembang (gerong), dan 10 penari tampil penuh penghayatan, menyatukan elemen musik, gerak, dan drama secara harmonis.
Tata artistik yang memukau, kostum sakral yang menggambarkan karakter mistis, serta kekuatan dramatik dalam pementasan berhasil memukau penonton. Suasana panggung yang kuat dan pesan spiritual yang mengalir membuat tepuk tangan meriah mengiringi penutupan pagelaran.
Pula-Pala bukan hanya menjadi tontonan budaya, melainkan pengingat spiritual yang relevan di era modern. Ia menanamkan kesadaran pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
Sebagaimana benih yang ditanam hari ini, akan tumbuh dan berbuah di kemudian hari. Melalui karya ini, masyarakat Kedonganan telah meletakkan nilai, keyakinan, dan keindahan budaya yang akan terus hidup di hati generasi mendatang. (jas)