
PANTAU BALI.COM, DENPASAR – Ribuan pasang mata terpukau saat Sekeha Gong Gita Swara Banjar Anyar, Kuta, Kecamatan Kuta tampil sebagai duta Kabupaten Badung dalam Utsawa atau Parade Joged Bumbung Tradisi di Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47, Rabu (2/7/2025).
Bertempat di Kalangan Madya Mandala, Taman Budaya Art Center Denpasar, penampilan mereka sukses membangun suasana penuh semangat dan tawa.
Putu Sukadana, S.Sn., selaku penata tabuh, menjelaskan bahwa sekeha gong ini membawakan dua tabuh kreasi. Karya pertama bertajuk “Tedung Jagat”, sebuah tabuh yang sarat makna filosofis tentang sosok pemimpin bijaksana yang menjadi pelindung dan pemberi rasa nyaman bagi rakyatnya.
Sementara karya kedua berjudul “Joged Gitaning Samudra” mengangkat dinamika kehidupan masyarakat pesisir Kuta. Tabuh ini menggambarkan keseharian para nelayan, mulai dari bersiap ke laut, menjala ikan, hingga merapikan hasil tangkapan. Di tengah suasana ceria itu, muncul konflik jenaka antara nelayan dan istrinya.
Sang suami yang terlalu sibuk melaut hingga abai dengan pekerjaan rumah mendapat protes lucu dari sang istri. Adegan ini memperkaya dramatika pementasan, menghadirkan gelak tawa tanpa kehilangan nilai seni tradisionalnya.
“Konsep ini kami angkat untuk merefleksikan harmoni antara manusia dan alam, sekaligus menyisipkan kritik sosial yang dibalut humor,” ujar Sukadana.
Lebih lanjut, Sukadana mengungkapkan bahwa proses latihan kelompok ini sudah dimulai sejak dua bulan lalu, demi memastikan pementasan berjalan sesuai pakem joged bumbung tradisi. Ia menegaskan, selain menghibur, pementasan ini sekaligus sebagai bentuk pelestarian seni joged bumbung agar tetap berada di jalur etika budaya yang benar.
“Kami ingin tetap menjaga pakem joged tradisi, dengan egolan khas yang bergerak ke samping, bukan ke depan. Ditambah penampilan tabuh kreasi yang memperkaya musikalitas pementasan,” imbuhnya.
Adapun durasi pementasan dibatasi maksimal 1 jam 20 menit, dengan menghadirkan empat penari joged yang akan berinteraksi dengan pengibing, menceritakan kisah nelayan dan unsur jenaka di dalamnya. Menariknya, unsur jaipongan juga diselipkan untuk memberi variasi ritme dalam pementasan.
Putu Sukadana berharap, pementasan ini bisa menjadi inspirasi sekaligus pengingat bahwa seni tradisi Bali, khususnya joged bumbung, tetap bisa dikembangkan tanpa meninggalkan akar budayanya. (ana)