PANTAUBALI.COM, SINGARAJA – Terlahir dari keluarga petani, tidak menyurutkan perjuangan Prof. Dr. Drs. I Putu Gede Putu Gede Parmajaya, M.Pd, dalam menggapai mimpinya di bidang pendidikan.
Diusianya yang tidak lagi muda, pria asal Desa Satra, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli ini, berhasil meraih gelar sebagai Guru Besar Pendidikan Agama Hindu.
Dosen senior yang mengajar di Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja ini, mengalami berbagai rintangan dan kesulitan yang harus dihadapi hingga bisa seperti sekarang ini.
Seperti yang dikatakannya, terlahir dari keluarga petani, hidup serba kekurangan dan bekerja keras menjadi hal biasa dilalui pria kelahiran 31 Desember 1959 ini.
Menjadi anak pertama dari enam bersaudara dan tumbuh di daerah terpencil di salah satu desa di Kecamatan Kintamani, Bangli, membuat Prof. Parmajaya memiliki karakter mandiri dan tabah.
“Sejak Sekolah Dasar (SD) yakni pada tahun 1970, saya sudah merantau ke Singaraja. Karena masalah biaya, saya tidak berhasil menyelesaikan pendidikan di SMEA Gajah Mada Singaraja. Dan akhirnya sambil bekerja, saya merantau ke Denpasar dan melanjutkan pendidikan di SMSRN Denpasar,” ujarnya.
Karena memiliki bakat seni, yaitu seni rupa, seni tabuh dan seni music, Prof. Parmajaya mengaku diterima mengabdi di SMP dan SMA Bhaktiyasa Singaraja. Dan pengabdiannya pun berbuah manis, pria yang kini menjabat sebagai Ketua Senat STAHN Mpu Kuturan itu, diangkat manjadi CPNS di APGAHN Denpasar, pada tahun 1995.
“Mulai dari mengabdi di SMP dan SMA Bhaktiyasa, saya sudah mencintai dunia pendidikan. Dan dilanjutkan dengan pengabdian di APGAHN Denpasar. Dalam pengembangan karier sebagai dosen, mulai mengikuti kuliah S2 di IKIP Negeri Singaraja mengambil Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, dan saya lulus pada tahun 2006. Kemudian saya melanjutkan pendidikan S3 di IHDN Denpasar dengan konsentrasi Ilmu Agama, lulus pada Tahun 2016, bertepatan dengan turunnya SK pemisahan dari IHDN Denpasar menjadi STAHN Mpu Kuturan Singaraja,” beber Prof. Parmajaya.
Prof. Parmajaya mengakui jika proses dalam menyelesaikan pendidikannya termasuk terlambat. Dia mengatakan hal itu disebabkan factor biaya. Sebab, dalam pengembangan karier dalam melanjutkan studi dari tingkat Sarjana Muda, sampai S3 semuanya dari usaha dan biaya sendiri.
“Ditambah saya harus menafkahi keluarga dan menyelesaikan pendidikan tiga anak saya. Dan berkat kebesaran Tuhan dan leluhur, anak-anak saya telah menyelesaikan Magister (S2) dan bahkan saat ini anak laki-laki yang juga dosen STAHN Mpu Kuturan sedang tugas belajar menempuh S3 di Universitas Negeri Jakarta, termasuk menantu yang kebetulan Dosen di UHN I Gusti Bagus Sugriwa juga sedang menempuh studi S3 di Universitas Indonesia Jakarta,” ujarnya dengan penuh rasa bangga, seraya menegaskan jika perjuangan hidupnya selama ini bukan dari warisan, melainkan berkat perjuangan seorang ibu yang hebat dan gigih membantu biaya pendidikannya.
Ditanya terkait tantangan Pendidikan Agama Hindu khusunya di Bali ke depan, terutama bersaing dengan kemajuan global, Prof. Parmajaya menilai jika pendidikan Hindu ke depan sangat bergantung dari kualitas SDM Hindu. Dan instansi pendidikan bertugas untuk mencetak tenaga-tenaga pendidikan yang professional serta menguasai kompetensi kependidikan. Dan hal itu dibarengi dengan perilaku moral yang baik.
“Kecerdasan intelektual yang dimiliki oleh generasi muda Hindu tanpa dibarengi dengan kecerdasan emosional yang baik, tentu akan menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan kecerdasannya, oleh karena antara kecerdasan intelektual, emosional juga kecerdasan spiritual sangat dibutuhkan sebagai alat control dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi Hindu,” tegasnya.