
PANTAU BALI.COM, DENPASAR — Parade Ngelawang dalam rangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 menjadi panggung istimewa bagi Sanggar Seni Tindak Alit dari Banjar Sengguan, Kelurahan Sempidi, Kecamatan Mengwi pada Sabtu (12/7/2025).
Sanggar ini tampil memukau membawakan garapan bertajuk Nangiang Warih, sebuah pertunjukan yang tidak hanya menampilkan seni, tetapi juga menyuarakan kebangkitan sebuah tradisi yang sempat terhenti selama lebih dari empat dekade.
Pertunjukan dimulai dari pelataran Kalangan Ayodya, menyusuri kawasan Taman Budaya Art Center menuju pelataran Gedung Kriya. Dalam kesempatan ini, Sanggar Tindak Alit menggandeng para pemuda dari 10 banjar di wilayah Sempidi, yang tergabung dalam Yowana Sempidi.
Lebih dari 100 orang terlibat dalam parade ini, terdiri dari 8 penari barong cilik, 20 penari, 26 penabuh, serta pembawa atribut dan papan nama kelompok.
Koordinator sekaligus pemilik sanggar, I Putu Candra Pradhita, mengungkapkan bahwa Nangiang Warih terinspirasi dari dokumentasi pertunjukan barong di era 1960-an.
Namun, akibat banyaknya anggota sekaa yang wafat, tradisi ini sempat vakum hingga akhirnya kembali dihidupkan di ajang PKB 2025.
“Inilah momentum kebangkitan sekaa barong yang dulu pernah menghibur masyarakat. Kami bahkan menampilkan sejumlah topeng tua yang pernah digunakan dalam pementasan ngelawang di masa lalu,” tuturnya.
Tak kurang dari belasan topeng berusia lebih dari setengah abad turut dipamerkan dalam parade tersebut. Pertunjukan ini dikemas dalam cerita menyentuh tentang seorang anak kecil yang bercita-cita menari barong, lalu didatangi sosok kakeknya, seorang penari lawas.
Sang kakek kemudian mewariskan pesan tentang pentingnya menjaga seni warisan leluhur, membangun jembatan nilai antara generasi lama dan muda.
Lebih jauh, keterlibatan para pemuda dari 10 banjar menjadi simbol kuat persatuan dan kebersamaan antar-desa adat. “Para yowana sangat antusias. Selain berkesenian, ini juga menjadi ruang interaksi dan mempererat ikatan antar-pemuda,” jelas Candra.
Sebelum tampil di PKB, pertunjukan ini juga sempat dipentaskan di wilayah setempat. Respons masyarakat sangat emosional, banyak yang larut dalam nostalgia hingga meneteskan air mata mengenang kejayaan sekaa barong tempo dulu.
“Memang tidak mudah menghidupkan kembali tradisi ini. Kami tak punya rekaman dokumentasi, tapi beruntung beberapa pelaku lama masih ada. Ini benar-benar menjadi ajang nostalgia,” tambahnya.
Candra pun mengajak masyarakat menjadikan PKB sebagai ruang kebanggaan untuk melestarikan seni tradisi.
“Mari jadikan PKB wadah bagi kita semua untuk merawat dan membanggakan seni budaya warisan leluhur. Karena di sinilah tujuan sebenarnya,” pungkasnya. (jas)