
PANTAUBALI.COM, DENPASAR – Bayang-bayang kegelapan sempat menyelimuti Bali pada awal Mei 2025. Dalam hitungan jam, pulau wisata dunia ini lumpuh akibat blackout. Listrik padam sejak sore hingga malam hari, membuat masyarakat dan pelaku industri pariwisata kelabakan.
Peristiwa ini kembali mengangkat isu klasik: ketergantungan Bali terhadap pasokan listrik dari Jawa. Hingga kapan Pulau Dewata harus bergantung pada kabel bawah laut?
Menanggapi situasi tersebut, pemerintah pusat bergerak cepat. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Hanif Faisol Nurofiq, turun langsung meninjau lokasi rencana pembangunan Terminal Liquefied Natural Gas (LNG) di Sidakarya, Denpasar, Selasa (27/5/2025). Dalam kunjungannya, Menteri Hanif memberi sinyal dukungan terhadap proyek strategis tersebut, dengan catatan mitigasi dampak ekologis harus diperkuat.
“Bali sebagai destinasi pariwisata dunia harus mampu mengembangkan energi bersih terbarukan. Tak hanya bersih dari sampah, tetapi juga mandiri secara energi agar tak tertinggal dari kompetitor global,” ujar Menteri Hanif di hadapan awak media dan tokoh masyarakat Sidakarya.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa proyek Terminal LNG tidak bisa dibangun sembarangan. Kajian lingkungan, sosial, dan keselamatan menjadi syarat mutlak.
“Kita harus pastikan semua kajian dilakukan secara menyeluruh, termasuk dampak terhadap terumbu karang, habitat laut, dan kesehatan masyarakat. Proyek ini harus memberi manfaat, bukan menciptakan risiko baru,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya aspek kesehatan dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Jika seluruh tahapan mitigasi dijalankan dengan benar, menurutnya Terminal LNG Sidakarya bisa menjadi solusi strategis yang tak hanya menjawab krisis energi, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi serta keberlanjutan lingkungan.
Kunjungan Menteri Hanif ini menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah pusat tak tinggal diam. Krisis listrik yang melanda Bali menjadi pelajaran pahit sekaligus momentum untuk memperkuat fondasi kemandirian energi.
Gelombang penolakan terhadap proyek LNG pun mulai mereda. Energi bersih kini bukan lagi sekadar wacana, melainkan kebutuhan mendesak. Bali tak bisa terus hidup dalam ketergantungan pasokan luar.
Dukungan tak hanya datang dari pemerintah pusat. Masyarakat adat pun menunjukkan sikap lebih terbuka. Jero Bendesa Adat Sidakarya, Ketut Suka, menyampaikan bahwa paruman desa telah dilakukan sejak 2022, dan mayoritas warga menyatakan dukungan terhadap proyek ini.
“Kami menyetujui rencana ini karena melihat banyak manfaat nyata. Tapi pembangunan harus dilakukan dengan penataan yang holistik, bukan hanya bangun infrastruktur, tapi juga menjaga kenyamanan warga,” jelasnya.
Kini, dengan lampu hijau dari Kementerian LHK, proyek Terminal LNG Sidakarya tak lagi sekadar wacana. Ia hadir sebagai jawaban atas keresahan masyarakat Bali. Blackout memang membawa kegelapan, tapi dari situ pula terang masa depan energi Bali mulai disusun – lebih mandiri, lebih bersih, dan lebih siap menghadapi tantangan. (ana)