Rentin: Larangan AMDK di Bawah 1 Liter Sesuai Permen LHK 75 Tahun 2019

Plt. Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali I Made Rentin.
Plt. Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali I Made Rentin.

PANTAUBALI.COM, DENPASAR – Larangan terhadap lembaga usaha dalam memproduksi air minum dalam kemasana (AMDK) plastik sekali pakai dengan volume kurang dari 1 liter di wilayah Provinsi Bali yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah menuai sorotan masyarakat. Aturan yang baru saja diterbitkan oleh Gubernur Bali Wayan Koster itu menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, khususnya bagi pelaku usaha.

Meskipun demikian, Plt. Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali I Made Rentin menyebut SE Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah sudah sesuai dengan kebijakan pengurangan sampah yang tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen periode tahun 2020 sampai dengan tahun 2029.

Menurutnya SE Gubernur Poin V, Larangan dan Pengawasan nomor 4 terkait larangan lembaga usaha memproduksi air minum kemasan plastik sekali pakai dengan volume kurang dari 1 liter di wilayah Provinsi Bali bertujuan untuk menjalankan amanat Permen LHK Nomor 75 tahun 2019 yang tertuang dalam Pasal 2 untuk mencapai target pengurangan sampah oleh produsen sebesar 30 persen dibandingkan dengan jumlah timbulan sampah tahun 2029.

Baca Juga:  Gubernur Koster Dorong Prinsip Trisakti Bung Karno untuk Pembangunan Bali

Ia menambahkan, Permen LHK No.P.75/2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen merupakan bagian dari amanat UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam pasal 15 disebutkan bahwa Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam dan Peraturan Pemerintah No.81/2012, pada pasal 12 – 15 yang mengatur kewajiban apa saja yang harus dilaksanakan oleh produsen.

“Menindaklanjuti mandat tersebut maka diterbitkan Permen LHK No.P.75/2019 yang mengatur lebih teknis mengenai kewajiban pengurangan sampah oleh produsen,” ujarnya dalam siaran persnya di Denpasar dikutip Senin (14/4/2025).

Baca Juga:  H-3 Pelaksanaan IBTK, Sekda Dewa Indra Cek Kesiapan Fasilitas di Kawasan Pura Besakih

Dalam lampiran Permen LHK No.P.75/2019 diatur jenis produk, kemasan, dan/atau wadah pada bidang usaha manufaktur. Salah satunya pada kewajiban pembatasan oleh produsen menyebutkan kemasan botol untuk produk minuman berbahan plastik Polyethylene (PE) dan Polyethylene terephthalate (PET) dibuat dengan volume paling kecil yakni 1 liter.

“Tahap pertama dalam pengurangan sampah oleh produsen adalah upaya produsen untuk membatasi timbulan sampah. Secara sederhana adalah bagaimana upaya Produsen tidak lagi menghasilkan sampah dari penggunaan produk, wadah dan/atau kemasan yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Jadi tujuan dikeluarkannya SE tersebut juga untuk mendukung kebijakan dan tujuan pemerintah pusat,” jelas Rentin.

Menurutnya, Pemerintah Provinsi Bali berupaya  menjalankan arahan Pemerintah Pusat dalam akselerasi penuntasan sampah pada hulu yakni dengan pengaturan kebijakan pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai, sehingga jumlah sampah yang dikelola di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) berkurang.

Kebijakan ini lahir sebagai bagian dari upaya mendorong masyarakat untuk beralih dari konsumsi plastik sekali pakai menuju kebiasaan penggunaan wadah minum yang dapat digunakan kembali, seperti penggunaan tumbler. Langkah ini tidak hanya bertujuan mengurangi sampah plastik, tetapi juga untuk membentuk karakter masyarakat Bali yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Baca Juga:  DPRD Tabanan Sampaikan 7 Prioritas Pembangunan dalam Rekomendasi LKPJ TA 2024

Pemerintah juga mendorong pelaku industri untuk merancang ulang kemasan yang lebih ramah lingkungan dan bertanggung jawab atas siklus hidup produknya. Ini sejalan dengan arah nasional dalam pengelolaan sampah berkelanjutan. Produsen dapat menjalankan kewajibannya untuk melaksanakan Extended Producer Resposibility (EPR) sehingga  tidak lagi hanya berperan dalam proses produksi, tetapi juga harus bertanggung jawab hingga tahap pasca konsumen. (rls)