PANTAUBALI.COM, Denpasar – Bawaslu Bali gelar Forum Diskusi terkait dengan Larangan Kampanye di tempat dengan mengundang Anggota KPU Bali, Anak Agung Gede Raka Nakula, Kasubdit I Direktorat Intelkam Politik Polda Bali, I Wayan Sumasa, Perwakilan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Bali, Adi Prisnanta, Perwakilan Majelis Desa Adat Provinsi Bali, I. G.A Diah Yuniti, Organisasi Keagamaan di Bali, dan seluruh Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kabupaten/Kota se-Bali, Jumat (10/2/2023) di kantornya.
Anggota Bawaslu Bali, I Ketut Rudia menyampaikan bahwa Pasal 280 huruf h Undang – Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu jelas melarang adanya praktik kampanye di tempat ibadah.
Hal tersebut diungkapkannya saat mengawali jalannya diskusi dalam forum yang juga dihadiri oleh Ketua Bawaslu Bali, Ketut Ariyani serta Anggota Bawaslu Bali lainnya, I Ketut Sunadra.
Forum diskusi ini, jelas Rudia, merupakan penyamaan persepsi terkait dengan sejauh mana sebuah tempat dapat dikategorikan sebagai bagian dari tempat ibadah.
“yang akan kita diskusikan bersama di forum ini adalah larangan kampanye di tempat ibadah, untuk itu, kita perlu menyepakati batasan apa yang dimaksud sebagai definisi tempat ibadah,” kata Rudia.
Menanggapi yang disampaikan Rudia, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, I Nyoman Kenak menyampaikan bahwa dalam Hindu, yang dimaksud dengan tempat ibadah dibagi menjadi 3 bagian, Nista, Madya, dan Utama beserta wantilannya yang merupakan satu bagian Pura.
“Nista, Madya, Utama termasuk dalam tempat ibadah beserta wantilannya yang merupakan satu bagian pura. Wantilan itu termasuk dalam Nista,” ujar Kenak.
Menambahkan yang disampaikan Kenak, Perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Bali, Raja Nasution menuturkan bahwa yang dimaksud dengan tempat ibadah menurut islam adalah tempat atau ruang dimana orang melakukan ibadah, yaitu masjid dan halaman masjid.
“tempat ibadah itu masjid, musholla, langgar atau surau, termasuk fasilitas yang ada di halaman tempat-tempat tersebut di atas,” tutur Raja.
Senada dengan Raja, Perwakilan Musyawarah Pelayanan Umat Kristen (MPUK) Provinsi Bali, Noflin Serapung menuturkan bahwa yang dimaksud dengan tempat ibadah adalah Gereja beserta dengan halamannya.
“Kalau dari Kristen, maka tempat ibadah adalah Gereja dan halaman, beserta aulanya,” papar Noflin.
Menurut Perwakilan Keuskupan Denpasar, Yusdi Diaz yang dimaksud dengan tempat ibadah adalah Gereja dan Kapel.
“Tempat ibadah itu adalah Gereja dan Kapel,” kata Diaz.
Lebih jauh, menurut Majelis Tinggi Agama Khonghucu Provinsi Balu, Adinatha, yang dikategorikan sebagai tempat ibadah adalah Klenteng, Lithang, Xuethang.
“Di 5 tahun yang lalu, kita sudah pernah mendefiniskan nya. Namun ini, kita sinkronisasikan kembali. Ada Klenteng, Lithang, Xuethang,” jelas Adinatha.
Sedangkan menurut Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) Provinsi Bali, Romo Gede Karyana menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan tempat ibadah adalah Wihara, Maha Cetiya, Meditasi Center yang bernuansa Budhist, kawasan Wihara termasuk areal parkirnya.
“Di Buddha, itu ada Wihara, Maha Cetiya, Meditasi Center yang bernuansa budhist. Kawasan wihara itu termasuk juga areal parkirnya,” pungkas Romo.
Mengakhiri forum diskusi, disepakati akan dilakukan penandatanganan kesepakatan bersama terkait dengan larangan kampanye di tempat ibadah, dan akan dilakukan sosialisasi segera setelahnya.(AG)