DENPASAR – Pantaubali.com – Menangapi pernyataan penasihat hukum Pelajar SMA asal Jepang berinisial, FS tersangka kejahatan seksual terhadap adik kelasnya sendiri yang sempat memberi tanggapan terkait, perbuatan tersebut dilakukan atas hubungan suka sama suka dan tidak ada paksaan.
Penasihat hukum FS juga menyampaikan, bahwa pihak keluarga kliennya berencana untuk meminta maaf atas peristiwa pencabulan yang terjadi antara sang anak dengan korban dikarenakan memang tidak direncanakan.
Salah satu Aktivis anak dan perempuan, Siti Sapurah atau lebih akrab disapa Ipung menyayangkan apa yang elah dikatakan kuasa hukum terdakwa tersebut.
Dirinya menyampaikan, Pertama ingin mengcounter istilah suka sama suka.
Menurut Dirinya, dalam kasus seksual terhadap anak serta dalam Undang-Undang Nombor 17 tahun 2016 perubahan ke 2 dari Undang-Undang Nombor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Selanjutnya, pada Undang-Undang Nombor 17 tahun 2016 berangkat dari Perpu Nombor 1 tahun 2016 penetapan pengganti Undang-udang khusus mengatur tentang apa terdapat atau diatur dalam Pasal 81 dan 82.
Pasal 81 tentang persetubuhan anak di bawah umur Pasal 82 tentang pencabulan terhadap anak dibawah umur yang tergolong kasus kejahatan sexual.
Dirinya mencontohkan, kasus seksual terhadap anak tahun 2016 yang dicetuskan oleh Bapak Presiden Jokowi telah menyatakan, perbuatan kejahatan yang luar biasa dan harus diselesaikan dengan cara luar biasa.
Artinya dalam kasus-kasus kejahatan sexual terhadap anak tidak dikenal dengan istilah mengenal suka sama suka.
Jadi, telah jelas dikatakan bahwasanya, pada Pasal 81, barang siapa mengajak atau siapa mempunyai inisiatif mengajak membiarkan orang untuk mengajak perbuatan persetubuhan dengan tipu muslihat, dengan bujuk rayu telah diatur juga.Meskipun ancamannya dalam kaitan dengan hal tersebut tidak ada.
“Saya ingin counter pertama ini”, cetusnya kemarin,(Sabtu,(3/12) di Denpasar.
Dirinya menyampaikan, pelaku sebelumnya juga telah melakukan hal yang sama ke pada adik kelasnya dimana pelaku sempat bersekolah sebelumnya.
Hal tersebut akhirnya mengakibatkan Dirinya di keluarkan dari sekolah sebelumnya.Sayangnya pihak korban tidak melakukan laporan ke pihak ke polisian, mungkin korban telah melakukan perdamaian dengan korban saat itu.
Selanjutnya pelaku pindah sekolah dimana akhirnya pelaku melakukan hal yang sama.Akan tetapi, kali ini keluarga korban tidak mau berdamai dan lebih memilih melanjutkan kasus telah dilakukan oleh pelaku ke pihak berwajib.
Menurut Dirinya, seharusnya dipasang oleh Polisi, Penyidik maupun Jaksa dalam kasus tersebut yaitu, Pasal 76 D Jo Pasal 81 Ayat 5 karena, korbannya lebih dari satu orang.Dengan ancaman hukuman minimal 10 tahun atau maximal 20 tahun.
“Jadi, tidak ada bahasa pembenar untuk berdamai atau melakukan dipersi.Dipersi dalam hal ini boleh dilakukan jika anak pelaku masih di bawah umur.Serta jika ancaman pidananya di bawah atau sama dengan 7 tahun”, paparnya.
Dirinya menyebutkan, kenapa pelaku harus ditahan terkait kasus tersebut. UU Nombor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan Pidana anak menyatakan dengan jelas jika anak pelaku di atas 14 tahun plus satu hari sampai 18 tahun harus dilakukan penahanan atau boleh dilakukan penahanan badan.
“Artinya penjaralah konsekuensi hukumannya”, ucapnya.
Ipung mengatakan, selanjutnya ada bahasa penanguhan penahanan dalam kaitan dengan hal tersebut, siapa nantinya akan menjamin jika pelaku tidak akan mengulangi apa telah dilakukan sebelumnya.Jadi, ada dua kalimat perlu dicatat dalam kaitan dengan hal tersebut dari pelaku seperti, “Saya sudah pernah memperawani anak Indonesia”.Selanjutnya bahasa dari pelaku juga hanya ingin melakukan atau menjalin pertemanan yang sama-sama menguntungkan.
“Artinya dalam hal ini hubungan sexual bagi Dirinya telah biasa, karena, pelaku ini setiap hari dirinya membekali dirinya satu kotak kondom.Artinya, telah dipersiapkan sebelumnya”, ujarnya.
Selanjutnya Dirinya mengatakan, menangapi agar kegiatan sekolah pelaku tidak terputus.Dalam sistem peradilan anak juga telah di atur, walaupun anak menjalani tahanan ada caranya agar anak tersebut dapat melanjutkan kegiatan aktifitas belajarnya.
“Lapaslah memiliki tugas tersebut.Jadi, jangan lagi kuasa hukum memaksakan diri menabrak UU”, sebutnya.
Dirinya dalam kaitan dengan hal tersebut hanya ingin menyampaikan kepada penegak hukum dengan mengatakan, kita orang Indonesia yang memiliki UU perlindungan anak serta memiliki sistem peradilan anak.Setidaknya dapat menghargai UU telah dimiliki di negara Indonesia saat ini.
“Jika kita sendiri tidak menghormatinya, jangan harap warga negara asing akan menghormati sistem peradilan telah kita miliki saat ini”, tutupnya.