DENPASAR – Pantaubali.com – Praktisi hukum Siti Sapura, pantang meyerah perjuangkan tanahnya seluas 1.12 hektar di Kampung Bugis Desa Serangan Kecamatan Denpasar Selatan.
Wanita akrab disapa Ipung ini menyebutkan tidak ingin menantang Walikota Denpasar I.G.N Jaya Negara, SE., melainkan memperjuangkan tanah miliknya melalui hukum. Sejumlah dokumen berisi 15 putusan, baik dari Putusan di Tahun 1974, 1975, 2009, sampai 2020, baik putusan PN, PT, serta Mahkamah Agung, dengan 1 kali Kasasi, dan 2 kali PK.
“Mengapa saya membawa surat laporan kemana-mana, Pertama, saya mengajukan surat keberatan kepada Bapak Walikota. Kedua, keberatan kepada Bapak Camat Densel, termasuk Bapak Lurah dan Jro Bendesa, adalah somasi. Dimana 7 hari ke depan, jika surat saya tidak diindahkan, maka jangan salahkan saya melakukan penutupan secara permanen di atas tanah saya. Tanah saya loh Pak Walikota, Pak Camat Densel,” jelasnya, kemarin,(Kamis (2/6).
Dirinya juga menyurati surat ke Bapak Presiden RI Joko Widodo, Kementarian Agraria, Menteri Lingkungan Hidup, Ombudsman RI, KPK, Kejaksaan Agung, BPN Pusat, BPN Bali, PT Denpasar, PN Denpasar, Camat, Lurah, Jro Bendesa, dan lainnya.
“Mohon Bapak-bapak terhormat Pemkot, Camat, dan Bendesa, ada tiga yang saya somasi di sini. Pertama, 7 tahun ke belakang siapa yang harus membayar, saya minta di sana per tahun Rp 300 Juta x 7 are, dan saya beri harga lagi jika ingin dipakai saya beri harga Rp 1 Milliar x 7. Dan jika tidak mampu membayar, kembalikan tanah itu kepada saya dan seperti semula. Jika tidak, jangan salahkan saya menutup jalan secara permanen”, ujarnya.
Tanah yang ada pagar seng adalah yang dulu penuh dengan pemukiman atau rumah warga penggugat (36 KK) yang berhasil dieksekusi pada 3 Januari 2017, yang merupakan bagian dari tanah 1.12 hektar berdasarkan Pipil Nomor II, Persil Nomor 15a yang tercantum dalam Akta Jual Beli Nomor 28/57 yang mana dijual oleh Sikin kepada Daeng Abdul Kadir alias Abdul Kadir dengan harga Rp 4.500.
“Batas-batasnya, Utara adalah Jalan, Barat Jalan, Selatan Tegal M. Thaib, dan Timurnya Laut. Di mana laut tersebut sekarang sudah direklamasi oleh PT BTID yang menjadi kanal, pas bersebelahan dengan tanah yang dimaksud yang luasnya 1.12 hektar”, bebernya.
Jalan dalam gambar adalah bagian dari tanah tersebut, yang diklaim oleh Pemkot Denpasar berdasarkan SK Nomor: 188.45/575/HK/2014 tertanggal 29 April 2014 dan diklaim oleh BTID berdasarkan SKMLH Tahun 2015 Nomor: SK. 480/Menlhk.Setjen/2015 tertanggal 3 Nopember 2015.
Sedangkan, Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 99/Pdt/1974 tertanggal 22 April 1975, menerangkan bahwa dalam perkara tersebut ahli waris dari Sikin (penjual) yang bernama Aminolah dan Besse mengugat ahli waris almarhum Daeng Abdul Kadir yang bernama Sarah aliah Maisarah, sekaligus ibu dari Siti Sapura alias Ipung, dengan dasar gugatan bahwa Pipil Nomor II, Persil Nomor 15a yang tanahnya seluas 1.12 hektar tidak pernah diperjualbelikan, namun yang diperjualberlikan hanya pipil Nomor II, Persil Nomor 15c yang luasnya 0.995 hektar.
“Di persidangan terungkap bahwa kedua blok tanah tersebut sudah diperjualbelikan oleh Sikin yang ahli warisnya H. Abdurahkam (Mantan Kepala Desa Serangan). Hal ini dibuktikan dengan 2 akta jual beli. Akta Jual Beli Nomor 27/57 mencatat bahwa tanah yang luasnya 0.995 hektar sudah diperjualbelikan oleh Sikin kepada Daeng Abdul Kadir dengan harga Rp3.500.,- sedangkan Akta Jual Beli Nomor 28/57 Pipil Nomor II, Persil Nomor 15a tanah seluas 1.12 hektar sudah diperjual belikan oleh Sikin kepada Daeng Abdul Kadir dengan harga Rp4.500.,- dan hal ini dikuatkan beberapa saksi dan dokumen yang ada dari instansi terkait”, bebernya.
Dalam Putusan PN Denpasar Nomor: 188/Pdt.G/2009/PN.Dps tertanggal 11 Mei 2009, menerangkan bahwa sebanyak 36 KK (Drg. Moh. Taha, dkk) menggugat Sarah alias Maisarah dengan dasar gugatan bahwa tanah yang ditempati oleh para pengugat 36 KK adalah wakaf dari Cokorda Pemecutan.
“Putusan PT Denpasar Nomor: 238/P.T.D/1975/Pdt. Tertanggal 3 Nopember 1957, yang menerangkan bahwa Pengadilan Tinggi Denpasar menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 99/Pdt/1974 tertanggal 22 April 1975,” cetusnya.
Dalam fakta persidangan mengungkapkan bahwa tanah yang dikuasai oleh para pengugat adalah milik Daeng Abdul Kadir (almarhum) yang sudah dibeli dari Sikin berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 28/57 dan dikuatkan oleh saksi-saksi yang masih hidup.
Kemudian, Putusan PT Denpasar Nomor: 45/Pdt/2010/PT.Dps tertanggal 10 Desember 2009, menerangkan: menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 188/Pdt.G/2009/PN/Dps tertanggal 11 Mei 2009.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 3081 K/Pdt/2010 tertanggal 22 Maret 2012, yang menerangkan di dalam amar putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut mengatakan bahwa: seluruh bangunan yang berada di tanah sengketa harus dihancurkan dan dikembalikan seperti semula, dan semua bahan material dari bangunan harus dikeluarkan dari tanah sengketa.
Sembari Dirinya memaparkan, SK Walikota Denpasar Nomor: 188.45/575/HK/2014 tertanggal 29 April 2014, menerangkan bahwa SK ini mengatur seluruh jalan yang ada di Kota Denpasar termasuk di Pulau Serangan, namun SK seharusnya mengacu pada Berita Acara penyerahan lahan yang disebut pada tanggal 2 Mei 2016 dari PT BTID kepada Desa Adat Serangan. Namun, Ipung mempertanyakan bagaimana SK lebih dulu lahir dari Berita Acara penyerahan lahan sebagai jalan. Bukan hanya itu, di SK hanya mengatur lahan yang diserahkan sebagai jalan oleh PT BTID panjangnya 2.115 Km, yang mulai dari pintu masuk Pulau Serangan sampai di Penangkaran Penyu yang adalah berasal dari laut yang direklamasi oleh PT BTID bukanlah daratan yang dijadikan jalan.
Kejanggalan berikutnya dalam SK lahan, yang dijadikan jalan atas pemberian dari PT BTID kepada Desa Adat Serangan diberi nama Jalan Tukad Punggawa I.
“Jadi tanah saya berada di tengah pemukiman warga (sesuai gambar) yang merupakan daratan yang sudah dikuasai oleh keluarga besar Daeng Abdul Kadir sejak Tahun 1957, yang merupakan daratan bukan lautan. Dan jalan yang diklaim oleh Pemerintah Kota Denpasar berdasarkan SK bernama Jalan Tukad Punggawa (tidak pakai I) tentu dengan terang benderang di sini tanah saya tidak termasuk di dalam SK Pemerintah Kota Denpasar yang dikeluarkan pada Tahun 2014. Baik berdasarkan berita acara penyerahan lahan PT BTID kepada Desa Adat Serangan ataupun berdasarkan fakta di lapangan,”Pungkasnya.