PANTAUBALI.COM, DENPASAR – Selama ini masyarakat hanya mengetahui penutupan TPA Suwung karena alasan teknis. Namun, Gubernur Bali Wayan Koster akhirnya blak-blakan mengungkap fakta mengejutkan di balik keputusan tersebut.
Ternyata, ada ancaman pidana dari pemerintah pusat yang memaksa daerah menutup TPA tersebut paling lambat akhir tahun ini.
“Kalau nggak ditutup sampai bulan Desember, itu akan diterapkan pidana oleh Kementerian Lingkungan Hidup,” ujar Koster di Kantor Gubernur Bali, Rabu (6/8/2025).
Bukan main-main, ancaman itu bukan ditujukan ke sembarang orang. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kepala UPTD TPA Suwung bahkan sudah sempat diproses untuk dijadikan tersangka. Alasannya? Pencemaran lingkungan akibat operasional TPA yang tak lagi sesuai standar.
“Jujur saja, Kadis dan Kepala UPTD TPA Suwung sudah nyaris jadi tersangka,” ungkap Koster, menahan nada emosional.
Ancaman ini jelas membuat Koster tak bisa tinggal diam. Ia tidak mau para pejabat di bawahnya dikorbankan karena sistem pengelolaan sampah yang sudah usang dan tak lagi relevan.
Apalagi, KLHK juga sudah mengeluarkan aturan tegas, semua TPA lama harus ditutup, dan tidak boleh lagi ada pembangunan TPA baru.
“Jadi Menteri Lingkungan sudah tidak membolehkan lagi ada TPA. Yang lama harus ditutup, yang baru tidak boleh dibangun,” tegasnya.
Situasi ini membuat Koster mengambil keputusan besar, mengakhiri ketergantungan pada sistem TPA, dan memaksa seluruh pihak, mulai dari pemerintah kabupaten/kota hingga rumah tangga, untuk bergerak ke sistem pengelolaan sampah berbasis sumber.
Bagi Koster, ini bukan cuma soal menutup tempat pembuangan, tapi soal menyelamatkan Bali dari kehancuran lingkungan sekaligus menghindarkan pejabatnya dari kriminalisasi.
Tak banyak pemimpin yang berani mengambil keputusan sekeras ini, apalagi dalam isu yang sensitif dan menyentuh kepentingan banyak pihak.
“Sudah tepat kita memberlakukan pengelolaan sampah berbasis sumber. Sampah harus dipilah di rumah tangga,” pungkasnya.
Keputusan ini mungkin tak populer, tapi justru menunjukkan satu hal, Wayan Koster memilih berani, bukan nyaman. Ia lebih memilih disalahkan sementara daripada Bali tenggelam dalam pencemaran dan pejabatnya dikorbankan.
Sejarah mungkin akan mencatat keputusan ini sebagai titik balik, saat Bali benar-benar mulai serius mengelola sampah dari hulunya, bukan lagi menumpuk masalah di satu tempat, lalu berpura-pura tidak tahu akibatnya. (ana)