
PANTAUBALI.COM, DENPASAR – Gubernur Bali Wayan Koster menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Bali tentang Bale Kertha Adhyaksa di Desa Adat.
Raperda ini diusulkan sebagai upaya menghadirkan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih humanistik, berbasis keadilan restoratif dan nilai-nilai kearifan lokal.
Hal itu disampaikannya dalam Rapat Paripurna ke-28 dan ke-29 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2024/2025, bertempat di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Denpasar pada Rabu (6/8/2025).
Gubernur Koster menyatakan, praktik penegakan hukum di Indonesia selama ini masih cenderung menitikberatkan pada pendekatan keadilan retributif dan belum sepenuhnya memberikan ruang yang cukup bagi nilai-nilai hukum adat dan keadilan sosial masyarakat.
“Penerapan hukum dan penegakan keadilan adalah dua hal yang belum sepenuhnya berjalan paralel. Hukum adat yang sebenarnya telah diakui dalam konstitusi, masih belum menjadi bagian yang signifikan dalam sistem hukum nasional,” tegasnya.
Bale Kertha Adhyaksa dilanjutkannya, dirancang sebagai forum musyawarah di tingkat desa adat yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa adat, perkara pidana ringan, dan konflik sosial secara damai melalui pendekatan restoratif.
Model ini mengedepankan pemulihan hubungan antar pihak, tanpa harus melalui jalur peradilan formal yang sering kali menyisakan konflik berkepanjangan.
“Forum ini adalah ruang dialog antar warga. Sebuah lembaga yang lahir dari integrasi hukum nasional dan hukum adat, di mana mediasi, musyawarah, dan kedamaian menjadi solusi utama dalam menyelesaikan perkara,” tambah Koster.
“Apalagi Bali menjadi Provinsi Pertama yang benar-benar mengakui Desa Adat secara hukum melalui UU No. 15 tahun 2023 tentang Provinsi Bali. Ini menjadi langkah konkrit kita melindungi Desa Adat di Bali,” tandasnya. (rls)